ARSITEKTUR VERNAKULAR NAGEKEO (Kampung Adat Wajo)

Pola Perkampungan

Kampung Adat Wajo berada di Desa Wajo, Kecamatan Keo-Tengah, Kabupaten Nagekeo. Kabupaten ini secara geografis terletak diantara 80 26’ 00’’-80 64’ 40” Lintang Selatan dan 1210 6’ 20”-1210 32’ 00” Bujur Timur. Bagian Utara berbatasan dengan Laut Flores, bagian Selatan berbatasan dengan laut Sawu, bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Ende, sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Ngada.
Karakteristik Arsitektur Wajo dipengaruhi oleh tata letak dan pola perkampungannya, yang mana dari keadaan topografi kampung wajo ini menjadi penentuan hierarki (kedudukan) rumah Pemali (Sa’oPile), Bangunan megalitik, serta pelataran kegiatan ritual adat.
Pola Perkampungan adat wajo mengacu pada symbol persatuan yang kuat, yakni lingkaran, “PONDO” artinya “PERIUK”, perihal Sa’o Pile dan Pu Peo menjadi sentral orientasi bangunana disekitarnya.
Secara hierarki, dalam pola perkampungan adat wajo, rumah adat (“Sa’o Pilei”) dan Peo kedudukannya pada kontur yang paling tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh falsafah adat istiadat Masyarakat Wajo, bahwa ‘kepala sandar di gunung’ (bagian Utara), ‘kaki topang di laut’ (bagian Selatan) “Udu mbeli kedi-ai ndeli mesi”, yang mengibaratkan situasi Arsitektur serta Pola perkampungan sebagai seekor Ular yang merupakan penunggu atau pelindung kampung adat Wajo. Hal ini membuktikan bahwa Mitis-Magis Masyarakat adat Wajo menjadi arahan serta pedoman dalam berarsitektur.

  • Hal ikhwal dalam Pola Perkampungan adat Wajo ini terdapat ketentuan-ketentuan khusus, misalnya arah jalan masuk, baik dalam keseharian maupun ritual adat, yakni harus melalui tangi Kodi, sebagai pintu masuk semua rangkaian kegiatan adat dengan ketentuan bila naik ke Sa’o Pile (Rumah Pemali), harus melepas alas kaki (sandal) dan mengenakan sarung adat.
  • Arah masuk kampung adat, dengan pola melingkar, dimulai dari arah kanan dan keluar harus mengitari Sa’o Pile dari arah kanan ke kiri, dengan ketentuan, jika sudah keluar dari perkampungan, sesuai adat tidak boleh kembali ke belakang (pada waktu yang bersamaan); Range (jarak) rumah kepala suku menjadi tata pola perkampungan adat wajo, yakni tiap kepala suku (ada 6 suku) masing-masing dipisahkan oleh 2 rumah Masyarakat biasa, dengan vocal point berupa dinding bambu ukiran (motif kain adat wajo).

Bangunan Arsitektur Wajo

Rumah Pemali (Sa’o Pile) dan Puu Peo menjadi kebanggaan dan bagian terpenting dalam pembentuk karakter orang Wajo.
Untuk Rumah Pemali (Sa’o Pile) terbentuk dari syair-syair lagu adat, yakni “Ndada ta”, dengan fungsi utama atau pokok, yaitu fungsi Sosial dan fungsi Religius.
Disebut memiliki fungsi Sosial, karena Rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat berkumpulnya warga kampung ataupun suku (6 suku) dan tempat bermusyawarah. Sedangkan disebut mempunyai fungsi Religius, karena rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat dilakukannya upacara adat dan sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka milik suku. Adanya Ruang Suci (Sakral) (Tubu nusu) dan benda-benda pusaka yang tidak boleh disentuh oleh Masyarakat awam, membuktikan bahwa rumah pemali, bukan saja sebagai tempat pemersatu semua suku, melainkan juga sebagai tempat tinggal Roh Leluhur (Retha).

SA’O PILE (RUMAH PEMALI)
Disebut Sa’o Pile (Rumah Pemali), karena merupakan tempat ritual adat dan tempat tinggal Roh Leluhur dengan fungsi tertentu pula.
Denah bangunan Sa’o Pile adalah persegi empat dengan dimensi 8m X 6m, berbentuk rumah panggung dan terdiri dari 2 lantai bangunan.
Secara khusus orientasi rumah pemali berdasarkan falsafah dan juga mitos, yakni Utara harus menghadap Gunung dan sebelah Selatan menghadap Sungai (lambang seekor Ular, penjaga kampung “Ine mbupu”).
Secara hierarki Sa’o Pile berada pada posisi yang paling tinggi, karena itu menjadi sentral yang mengarahkan pada Retha atau Mathemudu dedoe (Nenek Moyang dan Sang Pencipta).
Proses mendirikan Sa’o Pile ini memakan waktu kurang lebih 6 bulan dengan biaya yang mencapai ratusan juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa Rumah Pemali (Sa’o Pile) memiliki nilai dan makna yang berarti dan mahal, sehingga tidak sembarang dibangun, akan tetapi melalui ritual adat dengan ketentuan khusus pula, yang mana dikerjakan oleh semua warga kampung.

1) Cara Mendirikan Sa’o Pile (rumah Pemali)
Untuk mendirikan atau membangun Sa’o Pile, berdasarkan kesepakatan semua Suku (6 Suku), dalam ritual atau Upacara Adat, yakni :
  • Matu mumu, artinya 6 kepala suku beremuk untuk mencari anggota suku untuk merencanakan bangunan rumah adat;
  • Setelah semua anggota suku dengan keturunannya sudah berkumpul, ritual adat yang harus dijalankan yaitu meminta petunjuk, arahan sekaligus izin dari leluhur, yaitu “Tika” artinya member makan (sesajen) kepada leluhur (Ndewa rekta nee ngae rade);
  • Untuk mengumpulkan elemen-elemen (bahan-bahan) bangunan juga harus melalui ritual adat yakni “Raba taka” artinya mengasah parang pada waktu memotong tiang dan lain-lain terlebih dahulu didarahi dengan darah kerbau;
  • “Woti geri” artinya mengukir lambang-lambang atau symbol kebudayaan pada setiap elemen konstruksi.
Pada saat membangun Sa’o Pile, elemen-elemen konstruksi langsung ditempatkan pada posisinya secara bertahap (tidak dirangkaikan terlebih dahulu), yakni :

a. Mendirikan tiang utama (Deke).
Tiang utama tersebut berjumlah 6, yakni didirikan sesuai lingkaran suku dari kanan ke kiri, melambangkan suku-suku yang ada ;
  • Emb lau;
  • Embumbani
  • Koto bhisu mena;
  • Koto bhisu Rade;
  • Jemu dhedhe wawo;
  • Jemu dhedhe wena.
Tiang utama (Deke), harus menggunakan kayu khusus yaitu “kaju embu” yang diambil dari kebun pribadi Masyarakat Wajo, yakni di Nio budha, Ae toe, natu dan Baomau, penuh ukiran dengan system konstruksi ditanam dalam tanah, beralaskan batu ceper (Watu) dan dibalut oleh tali Ijo (ijuk) system Umpak batu.

b. Tiang utama menopang “Tenga” (sloff bawah) yaitu balok berbentuk kuda “Kaju mali kuda”, diambil dari ,undemi (Kebun) dengan system konstruksi “Monge”.
c. Karena merupakan rumah panggung, Sa’o Pile terdiri dari beberapa tangga yang harus ditapaki (dilewati bertahap), yakni :
  1. Ngi kajo, yaitu tangga pertama, berupa balok panjang
  2. Kana wari, disebut sebagai jembatan ke rumah adat, yang dibantu dengan seutas tali ijo (konon menggunakan ekor kerbau), terbuat dari Kaju Oja yang diambil di “lewa”. Kana wari ini dilengkapi dengan ornament berupa patung yang diyakini sebagai penjaga pintu masuk Rumah Pemali (“Ana Jeo”) yakni ;
  • Daki Weke (sebelah kiri);
  • Nenbo Neke (sebelah kanan)
Konon dua patung ini adalah Ana jeo, yaitu 2 orang anak yang menjaga seluruh kampung adat Wajo;
d. Kodi Panda
Yakni balok lantai pembatas pintu masuk (Wesa) dengan Kana wari. Bagi Masyarakat wajo, aturan atau pantangan memasuki rumah pemali adalah tidak boleh terantuk (tersandung) pada balok Kodi panda. Hal ini menandakan tidak diperkenankan untuk masuk ke Sa’o Pile (Pemali).
e. Wisu (kaju mbaa tolo)
Yakni kayu merah ½ dinding sebagai bagian konstruksi kolom-kolom pembentuk dindiding, diambil di Koi (Kebun).
f. Lantai “kembi”, terbuat dari belahan bambu dengan menggunakan konstruksi ikat silam dengan tali “Nao” (fii bheto) pada fii kodi ( balok lantai) atau Dado Kodi.
g. Rumah Sa’o Pile berbentuk limas, sehingga jenis atapnya menggunakan jurai dengan konstruksi diikat oleh tali ijo (tali ijuk), yakni :
  • Soku dok, yakni balok Jurai;
  • Mangu atau mbaa tolo yakni tiang nok, dari kayu merah;
  • Kada peda, yakni ½ kuda-kuda;
  • Soku papa, yakni gording dari bambu;
  • Pama lindi, yakni papan list plank penuh ukiran;
  • Alang-alang dan ijuk pada jurai, dikumpulkan dari masing-masing suku. Konstruksi alang-alang ini diapit oleh bambu dengan ukuran 1 meter dan diikat pada reng bambu dengan jarak 0,5 meter.
h. Loteng atau Kodi Panda
Kodi panda yakni ruang pada lantai 2 yang difungsikan sebagai tempat memanggil atau mengumpulkan semua warga kampung untuk mempersiapkan peralatan perang jika ada peperangan. Biasanya cara mengumpulkan semua warga kampung Wajo diiringi dengan musik gong, gendang, suling dan juga syair-syair lagu.

2) Upacara Adat dalam mendirikan Sa’o Pile (Rumah pemali)
Tujuan mengadakan upacara atau ritual adat dalam membangun rumah pemali, diyakini oleh masyarakat adat Wajo “sebagai wujud permintaan kepada leluhur untuk melindungi anak cucunya dari seluruh anggota suku agar sehat dan berhasil dalam membangun (Mbinge woso kupa) mengembangkan keturunan agar generasi-generasi berkembanga pesat”.
  • Mutu mumu, artinya 6 kepala suku beremuk (berdialog) untuk mencari anggota suku untuk merencanakan bangunan rumah adat;
  • Tika, yakni member sasajen (makan) kepada leluhur (“ndewa rekta nee ngae rade”);
  • Raba taka, yakni upacara mengasah parang pada waktu memotong tiang dan bahan lainnya yang terlebih dahulu didarahi oleh darah kerbau;
  • Woti geri, yakni upacara mengukir lambang-lambang atau symbol kebudayaan Wajo;
  • Lombo lindi, yakni memotong alang-alang agar rapih (finishing);
  • Pije puu, meletakkan tanah di sekitar tiang dan peo agar kuat yang didarahi dengan darah kerbau.
Dalam ritual adat hewan yang menjadi kurban pokok yaitu babi, digunakan untuk mendarahi kayu-kayu atau alang-alang selama masih di hutan atau kebun, dan kerbau, digunakan untuk mendarahi bahan-bahan bangunan disuatu tempat untuk siap dibangun (izin pada penunggu pohon).
Selain itu tarian yang digunakan selama upacara adat yaitu tarian Pute wutu oleh ana susu. Menurut masyarakat Wajo rumah sa’o pile dibangun berdasarkan syair-syair lagu “Ndada ta”.

3) Denah dan Pola Ruang
Denah dan pola ruang dalam tatanan arsitektur Tradisional (Vernakular) Wajo memiliki pola pikir yang bersifat sakral dan selalu dapat ditinjau secara hierarkis, yaitu horizontal dan vertikal.
Rumah pemali Sa’o Pile tergolong tipologi rumah panggung, terdiri dari dua lantai yang mana bertitikan pada ruang tengah yang ditandai oleh adanya ruang suci yang dikeramatkan.
Secara horizontal, pola ruang rumah pemali selalu dikaitkan dengan kehidupan profan, dengan tuntutan aktivitas seperti, makan bersama, memasak (Dika) dan bersosialisasi. Sedangkan secara vertikal selalu berhubungan dengan hal-hal kosmik dan sakral, karena pada ruangan tersebut juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan aktivitas adat (Upacara adat) yang bersifat sakral dan suci.
Disisi lain, secara adat istiadat Wajo terdapat pemisahan ruang yang memiliki sejumlah larangan, misalnya pembagian ruang masak (Wanita tidak boleh melewati pembatas antara ruang Dika/dapur dalam rumah pemali) yang dipisahkan oleh sebatang bambu dengan ukuran yang berbeda. Secara Vertikal arsitektur Wajo ini ditandai dengan adanya ruang upacara adat (ruang suci) yang dipisahkan oleh sebatang balok melintang. Dalam sumbu vertikal ini sangat jelas membedakan fungsi suatu ruang dari atas ke bawah atau dari yang keramat (pemali) sampai yang biasa, merupakan manifestasi dari dunia atas (dunia para dewa atau leluhur), dunia tengah (tempat manusia) dan dunia bawah (binatang dan roh jahat).
Tatanan pola ruang luar pada permukiman (perkampungan) adat Wajo juga pada dasarnya memiliki konsep dan hierarki ruang yagn identik sama dengan pola atau hirarki pada tat ruang dalam rumah pemali. Inti dari ruang luar ini pada pola tapak “Pondo” adalah kehadiran bangunan megalitik, Pu’u Peo, Peo Aki dan juga pelataran terbuka dalam lingkup kosmik gagasan Masyarakat Wajo dari jaman leluhur terdahulu.

4) Ornamen dan Ragam Hias
Ornament dan Ragam Hias pada Arsitektur Tradisional (Vernakular) adat Wajo yang terdapat dalam Rumah pemali (Sa’o Pile) memiliki banyak makna, norma, serta larangan tertentu sesuai perletakan yang hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu pula dari bangunan tersebut. Dari segi bentuk ragam hias ini sangat bervariasi, yakni berupa garis lurus, garis langkung (dengan komposisi tertentu), balah ketupat, flora (Kuntum bunga), fauna (binatang), manusia (sosok manusia, organ tertentu wanita, seperti payudara, dan patung), serta benda-benda langit (bulan, bintang, dan matahari). Ragam hias dengan komposisi garis-garis lengkung umumnya bersosok sesuatu benda yang menunjukkan keberadaan benda-benda pusaka atau benda berharga lainnya yang tersimpan di dalam Rumah pemali


Read More......

ARSITEKTUR VERNAKULER SABU

Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa pola perkampungan tradisional masyrakat Sabu, mengambil konsep dasar dari pembiasan cahaya bulan purnama, dimana terkesan adanya cahaya yang mengelilingi bulan pada saat purnama.
Konsep dasar ini, kemudian diimplementasikan kedalam pola tapak perkampungan Sabu, dengan catatan semua masa bangunan yang berada didalam tapak harus beorientasi pada satu titik (ruang terbuka/Telora yang biasnya terdapat bangunan megalith, yang mengelilingi sebatang pohon Kepaka/Nitas, Ko/bidara Cina atau Mandiri/beringin)
Secara arsitektur, pola yang tapak yang diterapkan adalah pola cluster/pola mengelompok, dimana masa bangunan yang ada tetap berpusat pada satu titik yang berada pada ruang terbuka/ Telora dan bangunan megalith. Selanjutnya pada keadaan tertentu dimana adanya beda tinggi kontur yang relatif curam, masyarakat kemudian memanfaatkan keadaan tersebut dengan mengikuti pola linear
Mengenai keamanan dalam tapak pada umumnya masyrakat tradisional sabu membuat pagar pengaman yang terbuat dari susunan batu karang (Lau Wadu). Tradisi dalam membuat pagar pengaman biasanya terdapat dua buah pintu yaitu gerbang masuk (Toka Dimu) terletak disebelah Timur dan gerbang keluar (Toka Wa) terletak disebelah Barat.

Pada daerah perbukitan, masyarakat setempat justru memanfaatkan kemiringan tanah perbukitan untuk mengintai musuh atau bahaya lainnya yang mengancam. Disisi lain kemungkinan karena kesulitan dalam menyelesaikan pagar pengaman dalam bentuk susunan batu, dimana karena kemiringan tanah yang cukup terjal didaerah perbukitan.

1. Orientasi Bangunan Dalam Tapak
Orientasi masa bangunan masyarakat Sabu berkaitan dengan perletakan masa bangunan dalam tapak, masyarakat setempat biasanya meletakan masa bangunan dengan memperhatikan titik pusat orientasinya yaitu pada ruang terbuka dan bangunan megalith yang berada di tengah-tengah perkampungan. Untuk menanggapi arah angin masyarakat setempat menyelesaikan masa bangunannya dengan orientasi membujur dari Timur ke Barat.
Ruang terbuka biasanya digunakan untuk ritual-ritual adat tertentu yang bersifat masal, disisi lain ruang terbuka juga digunakan sebagai tempat untuk mengeringkan bahan pangan palawija dan hasil perkebunan lainnya ) untuk disimpan dalam waktu yang cukup lama

2. Tipologi Rumah Tradisional Sabu
Pembahasan mengenai tipologi runah Sabu, terbagi menjadi tiga bagaian besar antara lain :
1. Rumah Sabu asli/rumah adat (Amu Rukoko)
2. Rumah tradisional Sabu yang mengalami transisi (Amu Eta)
3. Rumah Modern (Amu Jawa)

A. Tipologi Rumah Sabu Asli (Amu Rukoko)
a. Bentuk
Secara antropologis dan cerita masyrakat Sabu, bentuk rumah adat (Amu Rukoko) mengambil konsep dasar dari bentuk perahu. Bahkan sebagian besar elemen konstruksinya mengambil nama pada elemen konstruksi sebuah perahu.
Selanjutya, penyelesaian arsitekturnya, masyarakat setempat kemudian membuatnya dengan menyerupai bentuk perahu yang dibalik, sehingga bentuk perahu itu sendiri nampak pada olahan atap rumah adat Sabu.
b. Ruang
Masyarakat Sabu, cukup tegas dalam konsep penzoningan ruang dimana adanya pembagian ruang perempuan dan ruang laki-laki (Wuy dan Duru). Penyelesaian ruang secara arsitektur juga mengambil zona ruang pada perahu (Wuy dan Duru sebagai buritan dan haluan). Sedangkan untuk ruang bersama disebut Kopo Telora/ elu Ae
Lebih lanjut, masih terdapat satu ruang penting yang merupakan hollyroom bagi rumah masyarakat Sabu. Ruang dimaksud biasanya digunakan sebagai tempat pemujaan menurut ajaran tradisional Sabu (ingitiu , ruang tersebut disebut Demu. Selain sebagai ruang pemujaan, Demu juga digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan pangan.
Berdasarkan tradisi masyarakat setempat, yang boleh masuk pada ruang Demu, adalah kaum wanita atau mereka yang sudah berkeluarga. Sedangkan untuk pria lajang tidak diperkenankan masuk pada ruang ini. Pada ruang perempuan/uy selain digunakan sebagai tempat tidur kaum wanita, juga berfungsi sebagai dapur. Untuk penyimpanan barang/ perkakas kaum wanita terdapat satu tempat yang disebut Baja Wuy . Ruang pria atau Duru biasanya digunakan sebagai tempat tidur kaum pria, untuk tempat penyimpanan peralatan kaum pria tersedia satu tempat yang disebut Baja Duru
Pada ruang bersama (opo Telora/Delu Ae biasanya digunakan untuk kegiatan bersama, dengan tetap memperhatikan penzoningan kaum pria dan wanita.

c. Tampilan
Tampilan rumah adat Sabu secara jelas menegaskan kembali konsep dasarnya dimana mengambil konsep bentuk perahu. Secara harafiah sebuah perahu benar-benar seimbang. Konsep keseimbangan ini, dijelasjan kembali pada olahan tampak rumah adat Sabu. Disini konsep pembagian ruang perempuan dan laki-laki juga terlihat dengan jelas pada tampak depan dengan hadirnya dua buah pintu ( Kelae Beni dan Kelae Mone ). Sedangkan ketegasan konsep bentik perahu itu terpampang dengan jelas pada konstruksi penutup/ atap, yang pada bagian puncak atap ( kiri dan kanan ) terdapat bentuk Rukoko yang merupakan symbol kebesaran ajaran Jingitiu. Disisi lain Rukoko juga digunakan sebagai tempat persembunyian/ pengintaian musuh.
d. Ragam Hias
Ragam hias pada arsitektur vernakuler Sabu sangat minim. Untuk mewujudkan konsep dasar dari bentuk perahu, maka pada salah satu elemen konstruksi terlihat adanya penyeleseaian konstruksi yang membentuk seperti dayung perahu ( Aju Nou Rukoko ). Ragam hias lainnya terdapat pada kedua ujung balok pemikul lantai ( Ae kelaga ) pada sisi kiri dan kanan, yang memaknai seperti potongan wajah manusia yang sedang tidur terlentang dan sedang memikul beban. Ragam hias lainnya juga terdapat pada didinding ruang pemujaan ( Ketangarohe ), tiang nok ( Gala Beni dan Gala Mone ) dan pengapit Ketangarohe ( Hengepi / Papa Ketangarohe )
e. Material Struktur dan konstruksi
1. Material
Daratan Pulau Sabu merupakan daerah yang mempunyai populasi lontar yang cukup tinggi. Untuk mewujudkan konsep arsitekturnya, masyarakat setempat kemudian memanfaatkan populasi lontar yang ada. Kurang lebih 90% bahan yang digunakan adalah bahan lontar, sedangkan 10% sisanya menggunakan bahan kayu.
Dalam bahasa local, lontar disebut Keli. Daun lontar sebelum dirangkai menjadi konstruksi atap disebut Ru Keli setelah dijadikan Konstruksi penutup/ atap disebut dengan Ruwuwu, jahitan daun lontar untuk penutup jurai luar (jurai bubungan) juga disebut Ruwuwu. Sedangkan jahitan daun lontar untuk diding disebut Ruhedidi, jahitan daun lontar untuk
Elemen konstruksi pada rumah adat Sabu yang mengguanakan bahan lontar antara lain
1. Kolom (Geri)
2. Lantai (Kelaga)
3. Dinding (Ruhedidi)
4. Pintu (Ru Kelae)
5. Atap (Ruwuwu)
6. Konstruksi rangka atap (Bengu, Aju Nou, Gala)
7. Tali pengikat (Terbuat dari sayatan kulit pelepah lontar)

Bahan lain selain lontar adalah
1. Kolom (Geri Teruwuy dan Geri Teruduru serta Geri Kolo Eka)
2. Reng (Badu) biasanya mengguanakan material kayu yang mudah lentur
3. Dinding pada ruang Demu yang terbuat dari rangkaian/ anyaman daun kelapa (Ketangarohe)

2. Pola Struktur dan Konstruksi
A. Kolom (Geri)
Pada umumnya system struktur kolom pada rumaha adat Sabu menerapkan system sendi atau semua kolom yang ada ditanam dengan kedalaman kurang lebih 100 – 150 cm. kolom-kolom yang ditanam antara lain
a. Tiang utama (Geri Teruwuy dan Geri Teruduru)
Selain sebagai tiang suci, tiang ini juga berfugsi sbagai pemikul struktur Taga Batu (balok lengkung yang digunakan sebagai pemikul struktur atap yag teraksen melengkung pada sisi kiri dan kanan Amu Rukoko) selain itu, Geri Teruwuy dan Geri Teruduru juga digunakan sebagai pemikul atap Rukoko
b. Tiang pemikul struktur rangka atap (Geri Ae
Sistem hubungan struktur dan konstruksi antara keduanya mengguanakan sisitem tumpuan yang diperkuat dengan ikatan (Petu Geri Ae + Aju Nou)
c. tiang teritisan (Geri Kolo Eka)
system hubungan struktur dan konstruksinya adalah dengan pen dan lubang (Pen pada Tiang teritisan lubang pada balok teritisan) yag diperkuat dengan ikatan (Petu Geri Ae + Kenata)
d. Tiang pemikul lantai (Geri Kelaga Ae dan Geri Kelaga Rai)
system hubungan struktur dan konstruksinya ,menggunakan hubungan denagan coakan (Papa Geri Ae + Kelaga)
e. Tiang nok (Gala Beni dan Gala Mone) sisitem struktur dan konstruksi terhadap balok bubungan dan kaki kuda-kuda mengguanakan system pen dan lubang yag diperkaku dengan ikatan (Petu Gala + Aju Nou + Bengu)

1. Balok (Kebie / Ae)
a. Balok Pemikul lantai (Tuki Kelaga , Tuki Kelaga Raid an Tuki Kelaga Demu)
sistem hubungan konstruksi yang diterapkan didni adalah sistim tumpuan sendi dimana menggunakan hubungan dengan coakan
b. Balok pemikul struktur rangka atap (Kebie Ae)
sistem hubungan struktur dan konstruksi yang diterapkan adalah menggunakan sistem pen dan lubang.
c. Balok yang melengkung pada sisi kiri dan kanan (Taga Batu)
sistim sambungan ini dengan menggunakan pen dan lubang (Huki)
d. Balok bubungan (Bengu) dan kaki kuda-kuda (Aju Nou)
Hubungan konstruksinya dengan mengguanakan sistim pen dan lubang dan diperkaku dengan ikatan.
e. Balok pemikul atap Rukoko (Aju Nou Rukoko)
Aju Nou Rukoko berdimensi lebih kecil dari balok yang lain sistim hubungannya dengan balok bubungan bisanya diikat (Petu Aju Nou Rukoko + Bengu)
f. Balok Teritisan (Kenata)
Sistim hubungan konstruksinya adalah pen dan lubang yang diperkaku dengan ikatan. Sedangkan balok teritisan yang melengkung pada keempat sudut disebut Kenata Keware, biasanya terbuat dari kayu Nitas atau bidara Cina/Ko. System sambungannya dengan kenata menggunakan pen dan lubang (Huki)
B. Tipologi Rumah Sabu yang telah Mengalami Transisi (Amu Eta)
a. Bentuk
Pada dasarnya Amu Eta masih mengambil kaidah kaidah lama pada Amu Rukoko. Disini, bentuk Amu Rukoko. Tetapi hanya mengambil nilai-nilai yang terkandung pada Amu Rukoko. Olahan bentuk Amu Eta sudah terjadi perubahan, ini dapat dilihat dari bentuk denahnya yang mengandung bentuk dasar persegi, tidak persis lagi seperti pada Amu Rukoko yang berbentuk elips.
Hal lain juga terjadi perubahan bentu pada bentuk atap dimana Emu Eta bentuk atapnya sudah berbentuk perisai dengan keempat sudutnya beraksen melengkung.
b. Ruang
Menurut tradisi massyarakat setempat Amu Eta juga disebut Amu Kapue atau Rumah tinggal, dimana Amu Eta atau Amu Kapue terdapat sebuah ruang terbuka pada bagian depannya yang disbut Amu Kehale/ baranda biasanya Amu Kahale tidak berhubungan langsung dengan Amu Kapue. Mengenai penzoningan ruang pada Amu Eta, masih mengambil kaidah-kaidah lama pada Amu Rukoko, daiaman terdapat pembagian zona perempuan dan laki-laki (hanya berlaku pada tempat pembaringan jenazah). Ruang pembaringan jenazah, juga digunakan sebagai ruang tamu dan ruang keluarga. Tapi pada ummumnya orang yang bertamu tidak langsung ke Amu Kepue, tetapi dipersilahkan untuk beristurahat sementara di Amu kehale
Read More......

Arsitektur Tradisional Alor (Takpala)








A. Lokasi
Secara administratif Kampung Tradisional Takpala terletak didusun III Kamengtaha Desa Lembur Barat kecamatan Alor Barat Laut dengan batas-batas geografisnya adalah sebagai berikut :
1. Sebelah utara berbatasan denngan laut Flores
2. Sebelah selatan berbatasan denga Desa Lembur
Tengah dan desa Welai Selatan.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Likwatang
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Dusun II Desa Lembur Barat.
Sedangkan batas-batas geografi kawasan studi adalah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan kebun Penduduk
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan kebun penduduk
3. Sebelah Timur berbatasan dengan kebun penduduk
4. Sebelah Barat berbatasan dengankebun penduduk
Kampung ini secara topografi terletak dilereng bukit yang berada pada ketinggian kurang lebih 150 M, diatas permukaan laut, dengan kemiringan antara 5-40o.


B. Pola Perkampungan
Dalam hal ini yang dimaksud dengan pola perkampungan adalah pola perletakan bangunan ( tata letak bangunan ). Jika dilihat sepintas dari tata letak bangunan yang dikampung tradsional Takpala, yang menyebar mengelilingi topografi tanahnya, maka dengan mudah dapat dipastikan bahwa penataan kampung tersebut bepola baris atau lazim dikenal dengan sebutan pola linier. Namun jika dilihat dari perletakan bangunan terhadap ruang terbuka yang merupakan ruang bersama disekitar Mesbah/Misbah, maka pola perletakan bangunan pada kampung tradsional Takpala lebih tepat digolongkan kedalam pola ‘Tancan’ atau lazim disebut dengan nama pola claster. Hal ini diperjelas lagi oeh perletakan rumah adat yang menempati posisi sentral /strategis yang berhadapan dengan mesbah dan peralatan terbuka didepannya. Selain itu posisi rumah adat juga sangat simetris terhadap perletakan bangunan lainnya pada sisi kiri dan sisi kanan dari pelataran terbuka tersebut.
Pada kampung tradisional Takpala terdapat beberapa komponen penting yang membentuk pola perkampungannya, yakni: Mesang, Mesbah, Lik, Kolwat, Kanuarwat, Fala, Da
n Tova.

1. Mesang ( Pelataran )
Mesang merupakan ruang terbuka/ pelataran terbuka (komunal space) yang letaknya sangat strategi sebagai sarana komunikasi atau kontak sosial antar sesama didalam kehidupan bermasyarakat di kampung Takpala. Pelataran ini bentuknya mendekati bentuk bulat telur (oval) dengan diameter kearah memanjang kurang lebih 12 M, dan ditengah-tengahnya terdapat sebuah Mesbah/Misbah.
Pada upacara-upacara adat tertentu tempat ini biasanya digunakan sebagai tempat duduk warga masyarakat/ suku ataupun sebagai tempat melakukan/pementasan seni budaya, seperti lego-lego (luk) misalnya.
Dengan demikian Meseng, sebagai sarana kontak sosial/komunikasi, juga merupakan tempat suci, pada tempat ini biasanya dilakukan upacara-upacara adat yang bersifat religius.

2. Mesbah (misbah)
Mesbah merupakan susunan batu atau onggokan batu yangterbuat daru batu kali atau lempengan-lempengan batu yang menyerupai papan yang ditumpuk dalm bentuk melingkar, oval, atau pe
rsegi. Oleh para ahli Arkeologi susunan batu melingkar atau temu. Gelang ini merupakan satu produk budaya Megalitik dengan ukuran yang sangat berfariasi.
Mesbah di kampung tradisionsl Takpala memiliki ukuran tinggi 70 Cm (0,70 M) dengan diameter 185 cm (1,85 cm). Pada bagian atas (puncak dari Mesbah ini ditanam tiga buah batu dala posisi berdiri yang menyerupai Menhir yang oleh masyarakat setempat disebut Kameng Halifi.
Fungsi utama dari Mesbah di Alor umumnya dan dikampung tradisional Takpala khususnya adalah sebagai tempat upacara/pemujaan yang sifatnya sangat sakral (suci) upacara-upacara antara lain untuk menolak bala/mengusir wabah, mohon kesuburan tanaman, mohon keberhasilan dalam perang, pertemuan/rapat parra tua adat, dan lain sebagainya. Bahkan konon ceritranya pada zaman yang lampau pada musu para musuh yang kalah perang kepalanya dipenggal dan ditanam didalam Mesbah tersebut. Upacara-upacara ini biasanya disertai dengan menyembli binatang kurban, seperti : ayam, kambing, babi, dan berbagai kelengkapan upacara lainnya berupa siripinang, nasi dan telur, dengan diiringi pengucapan do
a-doa oleh seorang pemimpin upacara yang disebut Marang.

3. Rumah Adat
Pada masyarakatr suku Abui dikampung tradisional Takpala terdapat sepasang rumah adat yang disebut Kolwat dan kanuarwat. Rumah adat ini merupakan pusat segala kegiatan suku , terutama urusan adat yang pegaturannya dilakukan oleh kepala suku. Untuk memudahkan pembahasan dan mengingat adanya perbedaan antara kedua rumah adat ini, maka pembahasannya dapat dipisahkan sebagai berikut :

a. Rumah Adat Kolwat
Rumah adat kolwat letaknya berdampingan dengan rumah adat Kanurwat, dengan arah bukaan pintunya kesisi sebelah kanan (barat) dari rumah adat kanurwat. Pada kondisi kesehariannya rumah adat ini tidak berpengaruhi, kecuali pada saat penyelenggaraan pesta-pesta (upacara adat), yang pada prinsipnya boleh dimasuki oleh siapa saja tanpa kecuali pria dan wanita. Rumah adat kolwat memiliki bentuk sederhana berbentuk bujur sangkar dengan ukuran kurang lebih 3,70 M x 3,70 M. Bentuk denah ini juga merupakan cerminan ruang d
alamnya yang sederhana yang terbagi menjadi dua oleh sirkulasi yang letaknya ditengah ruangaan yang membujur dari timur ke barat. Disebelah utara terdapat sebuah bale-bale bambu yang tingginya kurang lebih 0,65 m dari permukaan lantai . bale-bale ini biasanya dilakukan sebahgai tempat duduk pada waktu melaksanakan pesta-pesta atau upacara adat. Sedangkan disebelah kanan terdapat bilik kecil yang dibatasi oleh dinding yang terbuat dari anyaman bambu (gedek). Didalam bilik ini juga terdapat sebuah bale-bale berukuran kecil yang tingginya kurang lebih 0,65 m dari permukaan lantai yang terletak disebelah timur. Sementara disisi sebelah barat, terdapat sebuah tangga dari bambu yang menghubungkan loteng diatasnya yang dihubungkan , yang digunakan sebagai tempat penyimpanan perabot pada waktu upacara adat.

b. Rumah Adat Kanuarwat
Seperti halnya rumah adat kolwat, rumah adat kanuarwat hanya dihuni dimasuki
pada waktu pesta-pesta/upacara-upacara adat, namun itupun tidak semua orang boleh masuk, selain anak sulung laki-laki atau tetua adat ataupun pemimpin upacara. Didalam rumah adat ini disimpan berbagai benda-benda pusaka seperti; Moko (gendang perunggu), Priuk, tombak, dan perlengkapan upacara lainnya yang diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Bentuk denah sama denga bentuk rumah adat kolwat yaitu bujur sangkar dengan ukuan kurang lebih 370x370cm (3,70x3,70m) tapi perbedaan terletak pada penempatan tiang utama dan bukaan pintu. Jika pada rumah aat kolwat, tiang utamanya terletak dibagian keempat sudut/pojok bagian luar bangunan , maka pada rumah adat kanuarwat, tiang utamanya berada didalam ruang.
Demikian juga dengan bukaan atau pintunya, kalau pada rumah adat kolwat bukaanya mengarah ke timur dan barat, maka pada rumah adat kanuarwat salah satu menghadap kebarat atau ke rumah adat kolwat, seangkan satu pintunya menghadap k
e utara atau ke mesbah dan masang (pelataran terbuka).
Perbedaan lainnya yang cukup mendasar adalah ragam hias yang ada pada rumah adat kanuarwat, yang sama sekali tidak ditemui pada rumah adat kolwat. Semenratara itu ruang dalamnya tidak ada pemisahan dengan dinding yang permanen, tetapi terbuka dan ditengah-tengah terdapat bale-bale bambu yang tingginya kurang lebih 65 cm (0,65 m) dari muka lantai. Tetapi diatas bale-bale tersebut terdapat sebuah para-para yang digantungkan pada balok loteng yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka dan benda-benda upacara serta barang-barang suci lainnya. Selain itu disisi sebelah Barat tepat disamping tiang utama bagian belakang terdapat sebuah tangga bambu yang digunakan sebagai tempat pengubung loteng diatasnya, yang memiliki fungsi yang sama seperti para-para yakni sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka/suci milik suku.


4. Fungsi Rumah Adat
Secara umum dapat dikatakan bahwa rumah adat dalam kehidupan masyarakat abui di kampung tradisional Takpala setidaknya mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi sosial dan fungsi religius.
a. Fungsi sosial
Rumah adat merupakan satu wadah kegiatan sosialisasi masyarakat untuk belajar memahami dan menghayati kebudayaan dengan cara belajar sambil bekerja (pendidikan informal). Aplikasinya adalah berupa upacara-upacara adat yang selalu dilakukan dalam rumah adat tersebut.
Disamping itu rumah adat juga merupaka tempat untuk menjamin persatuan dan kesatuan seluruh warga pendukungnya (suku), karena rumah adat ini , selain dibanguna oleh segenap warga suku pada waktu dan suasana tertentu, misalnya pada pesta-pesta/upacara adat.
b. Fungsi Religius
Rumah adat merupakan tempat untuk dilakukannya upacara-upacara adat yang bersifat religius, seperti upacara yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, perkawinan, menolak wabah, dan lain sebagainya. Selain itu, adanya barang-barang pusaka dan barang suci lainnya, membuktikan bahwa rumah adat bukan saja sebagai wadah sosial masyarakat, melainkan juga sebagai tempat suci dimana manusia bertemu dengan sang pencipta (Lahatala) yang menyelangarakan hidup manusia.


5. Ragam Hias
Ragam hias terutama digunakan pada rumah adat Kanuarwat yang ditempatkan pada tiang-tiang penunjang, balok, dan bingkai daun pintu bagian luar. Ragam hias dapat juga ditemui pada Lik (podium/panggung), ragam hias tersebut umumnya berbentuk geometris seperti: bela ketupat, segi tiga, lingkaran dan elips yang diberikan warna tertentu. Warna dasar yang paling umum digunakan adalah hitam, putih, merah hati, dan kuning yang diambil dari jenis tanah tenrtentu pula. Keempat warna ini hampir selalu merupakan satu komposisi dalam satu ragam hias yang ditempatkan selang-seling.
Gelap an terang warna juga nampaknya sangat diperhatiakan sehingga pada bagian tertentu seperti pintu yang seolah-olah ada penekanan. Karena pada bagian ini jelas sekali adanya warna yang menonjol atau lebih terang dibandingkan dengan bagian-bagian yang lainnya. Bahkan untuk memperkuat kesan ini, maka pada sisi kiri dan kanan pintu dipasang masing-masing dua batang kayu/ppan yang diberi warna putih.

6. Fala’ (Gudang)
Fala’ merupakan rumah tinggal yang oleh masyarakat setempat menyebut sebagai rumah gudang. Penamaan ini sejalan dengan sala satu fungsi lumbung tempat penyimpanan hasil pertanian seperti padi dan jgung. Sementara sebutan Fala’ sendiri muncul karena adanya Dulang (Fala’) sebagai penghalau hama tikus yang ditempatkan pada bagian ujung atas tiang utama.

1. Pembagian Ruang

Secara Vertikal Fala’ terdiri dari beberapa susunan ruang yang disesuaikan dengan fungsinya natara lain sebagai berikut :

a. Siwo (kolong) digunakan sebagai tempat untuk binatang (hewan piaraan), terutama ayam dan kambing.

b. Liktaha merupaka bale-bale terbuka (tidak berdinding) yang digunakan sebagai tempat atau ruang unru manusia, yang memiliki serambi tengah yang disebut likhomi dan serambi yang lainnya disebut Likhabang biasanya digunakan untuk membersikan hasil panen sebelum disimpan atau sebagai tempat pengolahan makanan sebelum dimasak. Sedangkan likhabang digunakan sebagai tempat untuk duduk-duduk santai oleh kaum laki-laki/pria dan sebagai tempat menerima dan menjamu tamu, bahkan kadang-kadang digunakan sebagai tempat tidurnya tamu laki-laki.

c. Falah omi

Falah omi adalah sebagai tempat tinggal manusia (tidur, makan, kegiatan keluarga lainnya) yang sekalugus sebagai dapur dan tempat menyimpan perabot rumah tangga. Ruang ini secara keseluruan tertutup atap sehingga tidak diperlukan adanya dinding. Inti dari ruangan ini tidak ada pembagian ruang secara permanen yang membedakan antara area prifate (tidur) denga area yang bukan private (duduk/makan), melainkan berwujud sebagai ruang terbuka yang berpusat pada perapian yang terletak ditengah ruang.

d. Akui Taha

Akui Taha merupakan tempat penyimpanan hasil pertanian (panen) seperti padi dan jagung ataupun hasil pertanian lainnya jadi Akui Taha dapat disejejerkan fungsinya sebagai lumbung.

e. Akui Kiding (loteng keci )

Merupakan tempat penyimpanan hasil pertanian

(panenan) bagi seorang pemuda atau remaja yang belum menikah (berkeluarga). Pada ruangan ini dapat juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga (moko dan gong) milik keluarga atupun tempat penyimpanan hasil panen yang tidak muda dikeluarkan.

Bentuk denah dari rumah Gudang (Fala’) umunya adalah bujur sangkar yang berfariasi dalam ukurannya dan sangat tergantung kepada kemampuan satu keluarga . luas lantai bangunan untuk lantai paling bawah (liktaha) berkisar antar 28 m 2 sampai 32 m 2. namun demikian secara umum tampilan rumah Gudang fala’) ini dapat dikatakan sama.


Sumber foto : http://www.ascensionatsea.net/Indonesia/Indo_Alor_Takpala.htm


Read More......
 
Powered By Blogger | Portal Design By Trik-tips Blog © 2009 |Redesign by Arch NTT | Resolution: 1024x768px | Best View: Firefox | Top