ARSITEKTUR VERNAKULER SABU

Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa pola perkampungan tradisional masyrakat Sabu, mengambil konsep dasar dari pembiasan cahaya bulan purnama, dimana terkesan adanya cahaya yang mengelilingi bulan pada saat purnama.
Konsep dasar ini, kemudian diimplementasikan kedalam pola tapak perkampungan Sabu, dengan catatan semua masa bangunan yang berada didalam tapak harus beorientasi pada satu titik (ruang terbuka/Telora yang biasnya terdapat bangunan megalith, yang mengelilingi sebatang pohon Kepaka/Nitas, Ko/bidara Cina atau Mandiri/beringin)
Secara arsitektur, pola yang tapak yang diterapkan adalah pola cluster/pola mengelompok, dimana masa bangunan yang ada tetap berpusat pada satu titik yang berada pada ruang terbuka/ Telora dan bangunan megalith. Selanjutnya pada keadaan tertentu dimana adanya beda tinggi kontur yang relatif curam, masyarakat kemudian memanfaatkan keadaan tersebut dengan mengikuti pola linear
Mengenai keamanan dalam tapak pada umumnya masyrakat tradisional sabu membuat pagar pengaman yang terbuat dari susunan batu karang (Lau Wadu). Tradisi dalam membuat pagar pengaman biasanya terdapat dua buah pintu yaitu gerbang masuk (Toka Dimu) terletak disebelah Timur dan gerbang keluar (Toka Wa) terletak disebelah Barat.

Pada daerah perbukitan, masyarakat setempat justru memanfaatkan kemiringan tanah perbukitan untuk mengintai musuh atau bahaya lainnya yang mengancam. Disisi lain kemungkinan karena kesulitan dalam menyelesaikan pagar pengaman dalam bentuk susunan batu, dimana karena kemiringan tanah yang cukup terjal didaerah perbukitan.

1. Orientasi Bangunan Dalam Tapak
Orientasi masa bangunan masyarakat Sabu berkaitan dengan perletakan masa bangunan dalam tapak, masyarakat setempat biasanya meletakan masa bangunan dengan memperhatikan titik pusat orientasinya yaitu pada ruang terbuka dan bangunan megalith yang berada di tengah-tengah perkampungan. Untuk menanggapi arah angin masyarakat setempat menyelesaikan masa bangunannya dengan orientasi membujur dari Timur ke Barat.
Ruang terbuka biasanya digunakan untuk ritual-ritual adat tertentu yang bersifat masal, disisi lain ruang terbuka juga digunakan sebagai tempat untuk mengeringkan bahan pangan palawija dan hasil perkebunan lainnya ) untuk disimpan dalam waktu yang cukup lama

2. Tipologi Rumah Tradisional Sabu
Pembahasan mengenai tipologi runah Sabu, terbagi menjadi tiga bagaian besar antara lain :
1. Rumah Sabu asli/rumah adat (Amu Rukoko)
2. Rumah tradisional Sabu yang mengalami transisi (Amu Eta)
3. Rumah Modern (Amu Jawa)

A. Tipologi Rumah Sabu Asli (Amu Rukoko)
a. Bentuk
Secara antropologis dan cerita masyrakat Sabu, bentuk rumah adat (Amu Rukoko) mengambil konsep dasar dari bentuk perahu. Bahkan sebagian besar elemen konstruksinya mengambil nama pada elemen konstruksi sebuah perahu.
Selanjutya, penyelesaian arsitekturnya, masyarakat setempat kemudian membuatnya dengan menyerupai bentuk perahu yang dibalik, sehingga bentuk perahu itu sendiri nampak pada olahan atap rumah adat Sabu.
b. Ruang
Masyarakat Sabu, cukup tegas dalam konsep penzoningan ruang dimana adanya pembagian ruang perempuan dan ruang laki-laki (Wuy dan Duru). Penyelesaian ruang secara arsitektur juga mengambil zona ruang pada perahu (Wuy dan Duru sebagai buritan dan haluan). Sedangkan untuk ruang bersama disebut Kopo Telora/ elu Ae
Lebih lanjut, masih terdapat satu ruang penting yang merupakan hollyroom bagi rumah masyarakat Sabu. Ruang dimaksud biasanya digunakan sebagai tempat pemujaan menurut ajaran tradisional Sabu (ingitiu , ruang tersebut disebut Demu. Selain sebagai ruang pemujaan, Demu juga digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan pangan.
Berdasarkan tradisi masyarakat setempat, yang boleh masuk pada ruang Demu, adalah kaum wanita atau mereka yang sudah berkeluarga. Sedangkan untuk pria lajang tidak diperkenankan masuk pada ruang ini. Pada ruang perempuan/uy selain digunakan sebagai tempat tidur kaum wanita, juga berfungsi sebagai dapur. Untuk penyimpanan barang/ perkakas kaum wanita terdapat satu tempat yang disebut Baja Wuy . Ruang pria atau Duru biasanya digunakan sebagai tempat tidur kaum pria, untuk tempat penyimpanan peralatan kaum pria tersedia satu tempat yang disebut Baja Duru
Pada ruang bersama (opo Telora/Delu Ae biasanya digunakan untuk kegiatan bersama, dengan tetap memperhatikan penzoningan kaum pria dan wanita.

c. Tampilan
Tampilan rumah adat Sabu secara jelas menegaskan kembali konsep dasarnya dimana mengambil konsep bentuk perahu. Secara harafiah sebuah perahu benar-benar seimbang. Konsep keseimbangan ini, dijelasjan kembali pada olahan tampak rumah adat Sabu. Disini konsep pembagian ruang perempuan dan laki-laki juga terlihat dengan jelas pada tampak depan dengan hadirnya dua buah pintu ( Kelae Beni dan Kelae Mone ). Sedangkan ketegasan konsep bentik perahu itu terpampang dengan jelas pada konstruksi penutup/ atap, yang pada bagian puncak atap ( kiri dan kanan ) terdapat bentuk Rukoko yang merupakan symbol kebesaran ajaran Jingitiu. Disisi lain Rukoko juga digunakan sebagai tempat persembunyian/ pengintaian musuh.
d. Ragam Hias
Ragam hias pada arsitektur vernakuler Sabu sangat minim. Untuk mewujudkan konsep dasar dari bentuk perahu, maka pada salah satu elemen konstruksi terlihat adanya penyeleseaian konstruksi yang membentuk seperti dayung perahu ( Aju Nou Rukoko ). Ragam hias lainnya terdapat pada kedua ujung balok pemikul lantai ( Ae kelaga ) pada sisi kiri dan kanan, yang memaknai seperti potongan wajah manusia yang sedang tidur terlentang dan sedang memikul beban. Ragam hias lainnya juga terdapat pada didinding ruang pemujaan ( Ketangarohe ), tiang nok ( Gala Beni dan Gala Mone ) dan pengapit Ketangarohe ( Hengepi / Papa Ketangarohe )
e. Material Struktur dan konstruksi
1. Material
Daratan Pulau Sabu merupakan daerah yang mempunyai populasi lontar yang cukup tinggi. Untuk mewujudkan konsep arsitekturnya, masyarakat setempat kemudian memanfaatkan populasi lontar yang ada. Kurang lebih 90% bahan yang digunakan adalah bahan lontar, sedangkan 10% sisanya menggunakan bahan kayu.
Dalam bahasa local, lontar disebut Keli. Daun lontar sebelum dirangkai menjadi konstruksi atap disebut Ru Keli setelah dijadikan Konstruksi penutup/ atap disebut dengan Ruwuwu, jahitan daun lontar untuk penutup jurai luar (jurai bubungan) juga disebut Ruwuwu. Sedangkan jahitan daun lontar untuk diding disebut Ruhedidi, jahitan daun lontar untuk
Elemen konstruksi pada rumah adat Sabu yang mengguanakan bahan lontar antara lain
1. Kolom (Geri)
2. Lantai (Kelaga)
3. Dinding (Ruhedidi)
4. Pintu (Ru Kelae)
5. Atap (Ruwuwu)
6. Konstruksi rangka atap (Bengu, Aju Nou, Gala)
7. Tali pengikat (Terbuat dari sayatan kulit pelepah lontar)

Bahan lain selain lontar adalah
1. Kolom (Geri Teruwuy dan Geri Teruduru serta Geri Kolo Eka)
2. Reng (Badu) biasanya mengguanakan material kayu yang mudah lentur
3. Dinding pada ruang Demu yang terbuat dari rangkaian/ anyaman daun kelapa (Ketangarohe)

2. Pola Struktur dan Konstruksi
A. Kolom (Geri)
Pada umumnya system struktur kolom pada rumaha adat Sabu menerapkan system sendi atau semua kolom yang ada ditanam dengan kedalaman kurang lebih 100 – 150 cm. kolom-kolom yang ditanam antara lain
a. Tiang utama (Geri Teruwuy dan Geri Teruduru)
Selain sebagai tiang suci, tiang ini juga berfugsi sbagai pemikul struktur Taga Batu (balok lengkung yang digunakan sebagai pemikul struktur atap yag teraksen melengkung pada sisi kiri dan kanan Amu Rukoko) selain itu, Geri Teruwuy dan Geri Teruduru juga digunakan sebagai pemikul atap Rukoko
b. Tiang pemikul struktur rangka atap (Geri Ae
Sistem hubungan struktur dan konstruksi antara keduanya mengguanakan sisitem tumpuan yang diperkuat dengan ikatan (Petu Geri Ae + Aju Nou)
c. tiang teritisan (Geri Kolo Eka)
system hubungan struktur dan konstruksinya adalah dengan pen dan lubang (Pen pada Tiang teritisan lubang pada balok teritisan) yag diperkuat dengan ikatan (Petu Geri Ae + Kenata)
d. Tiang pemikul lantai (Geri Kelaga Ae dan Geri Kelaga Rai)
system hubungan struktur dan konstruksinya ,menggunakan hubungan denagan coakan (Papa Geri Ae + Kelaga)
e. Tiang nok (Gala Beni dan Gala Mone) sisitem struktur dan konstruksi terhadap balok bubungan dan kaki kuda-kuda mengguanakan system pen dan lubang yag diperkaku dengan ikatan (Petu Gala + Aju Nou + Bengu)

1. Balok (Kebie / Ae)
a. Balok Pemikul lantai (Tuki Kelaga , Tuki Kelaga Raid an Tuki Kelaga Demu)
sistem hubungan konstruksi yang diterapkan didni adalah sistim tumpuan sendi dimana menggunakan hubungan dengan coakan
b. Balok pemikul struktur rangka atap (Kebie Ae)
sistem hubungan struktur dan konstruksi yang diterapkan adalah menggunakan sistem pen dan lubang.
c. Balok yang melengkung pada sisi kiri dan kanan (Taga Batu)
sistim sambungan ini dengan menggunakan pen dan lubang (Huki)
d. Balok bubungan (Bengu) dan kaki kuda-kuda (Aju Nou)
Hubungan konstruksinya dengan mengguanakan sistim pen dan lubang dan diperkaku dengan ikatan.
e. Balok pemikul atap Rukoko (Aju Nou Rukoko)
Aju Nou Rukoko berdimensi lebih kecil dari balok yang lain sistim hubungannya dengan balok bubungan bisanya diikat (Petu Aju Nou Rukoko + Bengu)
f. Balok Teritisan (Kenata)
Sistim hubungan konstruksinya adalah pen dan lubang yang diperkaku dengan ikatan. Sedangkan balok teritisan yang melengkung pada keempat sudut disebut Kenata Keware, biasanya terbuat dari kayu Nitas atau bidara Cina/Ko. System sambungannya dengan kenata menggunakan pen dan lubang (Huki)
B. Tipologi Rumah Sabu yang telah Mengalami Transisi (Amu Eta)
a. Bentuk
Pada dasarnya Amu Eta masih mengambil kaidah kaidah lama pada Amu Rukoko. Disini, bentuk Amu Rukoko. Tetapi hanya mengambil nilai-nilai yang terkandung pada Amu Rukoko. Olahan bentuk Amu Eta sudah terjadi perubahan, ini dapat dilihat dari bentuk denahnya yang mengandung bentuk dasar persegi, tidak persis lagi seperti pada Amu Rukoko yang berbentuk elips.
Hal lain juga terjadi perubahan bentu pada bentuk atap dimana Emu Eta bentuk atapnya sudah berbentuk perisai dengan keempat sudutnya beraksen melengkung.
b. Ruang
Menurut tradisi massyarakat setempat Amu Eta juga disebut Amu Kapue atau Rumah tinggal, dimana Amu Eta atau Amu Kapue terdapat sebuah ruang terbuka pada bagian depannya yang disbut Amu Kehale/ baranda biasanya Amu Kahale tidak berhubungan langsung dengan Amu Kapue. Mengenai penzoningan ruang pada Amu Eta, masih mengambil kaidah-kaidah lama pada Amu Rukoko, daiaman terdapat pembagian zona perempuan dan laki-laki (hanya berlaku pada tempat pembaringan jenazah). Ruang pembaringan jenazah, juga digunakan sebagai ruang tamu dan ruang keluarga. Tapi pada ummumnya orang yang bertamu tidak langsung ke Amu Kepue, tetapi dipersilahkan untuk beristurahat sementara di Amu kehale
Read More......

Arsitektur Tradisional Alor (Takpala)








A. Lokasi
Secara administratif Kampung Tradisional Takpala terletak didusun III Kamengtaha Desa Lembur Barat kecamatan Alor Barat Laut dengan batas-batas geografisnya adalah sebagai berikut :
1. Sebelah utara berbatasan denngan laut Flores
2. Sebelah selatan berbatasan denga Desa Lembur
Tengah dan desa Welai Selatan.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Likwatang
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Dusun II Desa Lembur Barat.
Sedangkan batas-batas geografi kawasan studi adalah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan kebun Penduduk
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan kebun penduduk
3. Sebelah Timur berbatasan dengan kebun penduduk
4. Sebelah Barat berbatasan dengankebun penduduk
Kampung ini secara topografi terletak dilereng bukit yang berada pada ketinggian kurang lebih 150 M, diatas permukaan laut, dengan kemiringan antara 5-40o.


B. Pola Perkampungan
Dalam hal ini yang dimaksud dengan pola perkampungan adalah pola perletakan bangunan ( tata letak bangunan ). Jika dilihat sepintas dari tata letak bangunan yang dikampung tradsional Takpala, yang menyebar mengelilingi topografi tanahnya, maka dengan mudah dapat dipastikan bahwa penataan kampung tersebut bepola baris atau lazim dikenal dengan sebutan pola linier. Namun jika dilihat dari perletakan bangunan terhadap ruang terbuka yang merupakan ruang bersama disekitar Mesbah/Misbah, maka pola perletakan bangunan pada kampung tradsional Takpala lebih tepat digolongkan kedalam pola ‘Tancan’ atau lazim disebut dengan nama pola claster. Hal ini diperjelas lagi oeh perletakan rumah adat yang menempati posisi sentral /strategis yang berhadapan dengan mesbah dan peralatan terbuka didepannya. Selain itu posisi rumah adat juga sangat simetris terhadap perletakan bangunan lainnya pada sisi kiri dan sisi kanan dari pelataran terbuka tersebut.
Pada kampung tradisional Takpala terdapat beberapa komponen penting yang membentuk pola perkampungannya, yakni: Mesang, Mesbah, Lik, Kolwat, Kanuarwat, Fala, Da
n Tova.

1. Mesang ( Pelataran )
Mesang merupakan ruang terbuka/ pelataran terbuka (komunal space) yang letaknya sangat strategi sebagai sarana komunikasi atau kontak sosial antar sesama didalam kehidupan bermasyarakat di kampung Takpala. Pelataran ini bentuknya mendekati bentuk bulat telur (oval) dengan diameter kearah memanjang kurang lebih 12 M, dan ditengah-tengahnya terdapat sebuah Mesbah/Misbah.
Pada upacara-upacara adat tertentu tempat ini biasanya digunakan sebagai tempat duduk warga masyarakat/ suku ataupun sebagai tempat melakukan/pementasan seni budaya, seperti lego-lego (luk) misalnya.
Dengan demikian Meseng, sebagai sarana kontak sosial/komunikasi, juga merupakan tempat suci, pada tempat ini biasanya dilakukan upacara-upacara adat yang bersifat religius.

2. Mesbah (misbah)
Mesbah merupakan susunan batu atau onggokan batu yangterbuat daru batu kali atau lempengan-lempengan batu yang menyerupai papan yang ditumpuk dalm bentuk melingkar, oval, atau pe
rsegi. Oleh para ahli Arkeologi susunan batu melingkar atau temu. Gelang ini merupakan satu produk budaya Megalitik dengan ukuran yang sangat berfariasi.
Mesbah di kampung tradisionsl Takpala memiliki ukuran tinggi 70 Cm (0,70 M) dengan diameter 185 cm (1,85 cm). Pada bagian atas (puncak dari Mesbah ini ditanam tiga buah batu dala posisi berdiri yang menyerupai Menhir yang oleh masyarakat setempat disebut Kameng Halifi.
Fungsi utama dari Mesbah di Alor umumnya dan dikampung tradisional Takpala khususnya adalah sebagai tempat upacara/pemujaan yang sifatnya sangat sakral (suci) upacara-upacara antara lain untuk menolak bala/mengusir wabah, mohon kesuburan tanaman, mohon keberhasilan dalam perang, pertemuan/rapat parra tua adat, dan lain sebagainya. Bahkan konon ceritranya pada zaman yang lampau pada musu para musuh yang kalah perang kepalanya dipenggal dan ditanam didalam Mesbah tersebut. Upacara-upacara ini biasanya disertai dengan menyembli binatang kurban, seperti : ayam, kambing, babi, dan berbagai kelengkapan upacara lainnya berupa siripinang, nasi dan telur, dengan diiringi pengucapan do
a-doa oleh seorang pemimpin upacara yang disebut Marang.

3. Rumah Adat
Pada masyarakatr suku Abui dikampung tradisional Takpala terdapat sepasang rumah adat yang disebut Kolwat dan kanuarwat. Rumah adat ini merupakan pusat segala kegiatan suku , terutama urusan adat yang pegaturannya dilakukan oleh kepala suku. Untuk memudahkan pembahasan dan mengingat adanya perbedaan antara kedua rumah adat ini, maka pembahasannya dapat dipisahkan sebagai berikut :

a. Rumah Adat Kolwat
Rumah adat kolwat letaknya berdampingan dengan rumah adat Kanurwat, dengan arah bukaan pintunya kesisi sebelah kanan (barat) dari rumah adat kanurwat. Pada kondisi kesehariannya rumah adat ini tidak berpengaruhi, kecuali pada saat penyelenggaraan pesta-pesta (upacara adat), yang pada prinsipnya boleh dimasuki oleh siapa saja tanpa kecuali pria dan wanita. Rumah adat kolwat memiliki bentuk sederhana berbentuk bujur sangkar dengan ukuran kurang lebih 3,70 M x 3,70 M. Bentuk denah ini juga merupakan cerminan ruang d
alamnya yang sederhana yang terbagi menjadi dua oleh sirkulasi yang letaknya ditengah ruangaan yang membujur dari timur ke barat. Disebelah utara terdapat sebuah bale-bale bambu yang tingginya kurang lebih 0,65 m dari permukaan lantai . bale-bale ini biasanya dilakukan sebahgai tempat duduk pada waktu melaksanakan pesta-pesta atau upacara adat. Sedangkan disebelah kanan terdapat bilik kecil yang dibatasi oleh dinding yang terbuat dari anyaman bambu (gedek). Didalam bilik ini juga terdapat sebuah bale-bale berukuran kecil yang tingginya kurang lebih 0,65 m dari permukaan lantai yang terletak disebelah timur. Sementara disisi sebelah barat, terdapat sebuah tangga dari bambu yang menghubungkan loteng diatasnya yang dihubungkan , yang digunakan sebagai tempat penyimpanan perabot pada waktu upacara adat.

b. Rumah Adat Kanuarwat
Seperti halnya rumah adat kolwat, rumah adat kanuarwat hanya dihuni dimasuki
pada waktu pesta-pesta/upacara-upacara adat, namun itupun tidak semua orang boleh masuk, selain anak sulung laki-laki atau tetua adat ataupun pemimpin upacara. Didalam rumah adat ini disimpan berbagai benda-benda pusaka seperti; Moko (gendang perunggu), Priuk, tombak, dan perlengkapan upacara lainnya yang diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Bentuk denah sama denga bentuk rumah adat kolwat yaitu bujur sangkar dengan ukuan kurang lebih 370x370cm (3,70x3,70m) tapi perbedaan terletak pada penempatan tiang utama dan bukaan pintu. Jika pada rumah aat kolwat, tiang utamanya terletak dibagian keempat sudut/pojok bagian luar bangunan , maka pada rumah adat kanuarwat, tiang utamanya berada didalam ruang.
Demikian juga dengan bukaan atau pintunya, kalau pada rumah adat kolwat bukaanya mengarah ke timur dan barat, maka pada rumah adat kanuarwat salah satu menghadap kebarat atau ke rumah adat kolwat, seangkan satu pintunya menghadap k
e utara atau ke mesbah dan masang (pelataran terbuka).
Perbedaan lainnya yang cukup mendasar adalah ragam hias yang ada pada rumah adat kanuarwat, yang sama sekali tidak ditemui pada rumah adat kolwat. Semenratara itu ruang dalamnya tidak ada pemisahan dengan dinding yang permanen, tetapi terbuka dan ditengah-tengah terdapat bale-bale bambu yang tingginya kurang lebih 65 cm (0,65 m) dari muka lantai. Tetapi diatas bale-bale tersebut terdapat sebuah para-para yang digantungkan pada balok loteng yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka dan benda-benda upacara serta barang-barang suci lainnya. Selain itu disisi sebelah Barat tepat disamping tiang utama bagian belakang terdapat sebuah tangga bambu yang digunakan sebagai tempat pengubung loteng diatasnya, yang memiliki fungsi yang sama seperti para-para yakni sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka/suci milik suku.


4. Fungsi Rumah Adat
Secara umum dapat dikatakan bahwa rumah adat dalam kehidupan masyarakat abui di kampung tradisional Takpala setidaknya mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi sosial dan fungsi religius.
a. Fungsi sosial
Rumah adat merupakan satu wadah kegiatan sosialisasi masyarakat untuk belajar memahami dan menghayati kebudayaan dengan cara belajar sambil bekerja (pendidikan informal). Aplikasinya adalah berupa upacara-upacara adat yang selalu dilakukan dalam rumah adat tersebut.
Disamping itu rumah adat juga merupaka tempat untuk menjamin persatuan dan kesatuan seluruh warga pendukungnya (suku), karena rumah adat ini , selain dibanguna oleh segenap warga suku pada waktu dan suasana tertentu, misalnya pada pesta-pesta/upacara adat.
b. Fungsi Religius
Rumah adat merupakan tempat untuk dilakukannya upacara-upacara adat yang bersifat religius, seperti upacara yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, perkawinan, menolak wabah, dan lain sebagainya. Selain itu, adanya barang-barang pusaka dan barang suci lainnya, membuktikan bahwa rumah adat bukan saja sebagai wadah sosial masyarakat, melainkan juga sebagai tempat suci dimana manusia bertemu dengan sang pencipta (Lahatala) yang menyelangarakan hidup manusia.


5. Ragam Hias
Ragam hias terutama digunakan pada rumah adat Kanuarwat yang ditempatkan pada tiang-tiang penunjang, balok, dan bingkai daun pintu bagian luar. Ragam hias dapat juga ditemui pada Lik (podium/panggung), ragam hias tersebut umumnya berbentuk geometris seperti: bela ketupat, segi tiga, lingkaran dan elips yang diberikan warna tertentu. Warna dasar yang paling umum digunakan adalah hitam, putih, merah hati, dan kuning yang diambil dari jenis tanah tenrtentu pula. Keempat warna ini hampir selalu merupakan satu komposisi dalam satu ragam hias yang ditempatkan selang-seling.
Gelap an terang warna juga nampaknya sangat diperhatiakan sehingga pada bagian tertentu seperti pintu yang seolah-olah ada penekanan. Karena pada bagian ini jelas sekali adanya warna yang menonjol atau lebih terang dibandingkan dengan bagian-bagian yang lainnya. Bahkan untuk memperkuat kesan ini, maka pada sisi kiri dan kanan pintu dipasang masing-masing dua batang kayu/ppan yang diberi warna putih.

6. Fala’ (Gudang)
Fala’ merupakan rumah tinggal yang oleh masyarakat setempat menyebut sebagai rumah gudang. Penamaan ini sejalan dengan sala satu fungsi lumbung tempat penyimpanan hasil pertanian seperti padi dan jgung. Sementara sebutan Fala’ sendiri muncul karena adanya Dulang (Fala’) sebagai penghalau hama tikus yang ditempatkan pada bagian ujung atas tiang utama.

1. Pembagian Ruang

Secara Vertikal Fala’ terdiri dari beberapa susunan ruang yang disesuaikan dengan fungsinya natara lain sebagai berikut :

a. Siwo (kolong) digunakan sebagai tempat untuk binatang (hewan piaraan), terutama ayam dan kambing.

b. Liktaha merupaka bale-bale terbuka (tidak berdinding) yang digunakan sebagai tempat atau ruang unru manusia, yang memiliki serambi tengah yang disebut likhomi dan serambi yang lainnya disebut Likhabang biasanya digunakan untuk membersikan hasil panen sebelum disimpan atau sebagai tempat pengolahan makanan sebelum dimasak. Sedangkan likhabang digunakan sebagai tempat untuk duduk-duduk santai oleh kaum laki-laki/pria dan sebagai tempat menerima dan menjamu tamu, bahkan kadang-kadang digunakan sebagai tempat tidurnya tamu laki-laki.

c. Falah omi

Falah omi adalah sebagai tempat tinggal manusia (tidur, makan, kegiatan keluarga lainnya) yang sekalugus sebagai dapur dan tempat menyimpan perabot rumah tangga. Ruang ini secara keseluruan tertutup atap sehingga tidak diperlukan adanya dinding. Inti dari ruangan ini tidak ada pembagian ruang secara permanen yang membedakan antara area prifate (tidur) denga area yang bukan private (duduk/makan), melainkan berwujud sebagai ruang terbuka yang berpusat pada perapian yang terletak ditengah ruang.

d. Akui Taha

Akui Taha merupakan tempat penyimpanan hasil pertanian (panen) seperti padi dan jagung ataupun hasil pertanian lainnya jadi Akui Taha dapat disejejerkan fungsinya sebagai lumbung.

e. Akui Kiding (loteng keci )

Merupakan tempat penyimpanan hasil pertanian

(panenan) bagi seorang pemuda atau remaja yang belum menikah (berkeluarga). Pada ruangan ini dapat juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga (moko dan gong) milik keluarga atupun tempat penyimpanan hasil panen yang tidak muda dikeluarkan.

Bentuk denah dari rumah Gudang (Fala’) umunya adalah bujur sangkar yang berfariasi dalam ukurannya dan sangat tergantung kepada kemampuan satu keluarga . luas lantai bangunan untuk lantai paling bawah (liktaha) berkisar antar 28 m 2 sampai 32 m 2. namun demikian secara umum tampilan rumah Gudang fala’) ini dapat dikatakan sama.


Sumber foto : http://www.ascensionatsea.net/Indonesia/Indo_Alor_Takpala.htm


Read More......

PERKAMPUNGAN ORANG DAWAN

Jaman dahulu orang Dawan mendirikan rumah dan perkampungannya di puncak–puncak gunung. Perkampungan ini dikelilingi oleh pagar batu, bambu/pelepah gewang, semak berduri dan sebagainya. Setiap kampung biasanya didiami kelompok kerabat dengan seorang kepala/pimpinan. Sebuah perkampungan baru dapat terbentuk karena adanya pemecahan anggota kelompok atau kawin campur antar suku. Dengan demikian kelompok kerabat menjadi terpencar–pencar dalam wilayah yang luas. Pemecahan tempat kediaman berhubungan erat dengan sistem mata pencaharian yaitu berladang.
Pola perkampungan suku Dawan yang asli adalah kelompok padat dengan rumah–rumah (cluster) dengan beberapa kandang ternak (sapi/babi). Kadang–kadang penduduk tersebar disekeliling perkampungan. Disamping itu ruang luar yang terbuka dimanfaatkan sebagai tempat bermain anak–anak atau tempat bekerja (menenun) terutama dibawah naungan pohon–pohon besar atau dengan mendirikan pondok-pondok tempat kerja (Sane).
Pada Desa Maslete contohnya, masih terdapat beberap kelompok rumah dengan pola asli (cluster). Perumahan rakyat biasa terdiri dari kelompok–kelompok yang masing–masing dihuni oleh anggota sebuah marga. Setiap kelompok marga ini mempunyai sebuah rumah yang dikeramatkan yang disebut dengan rumah marga. Kompleks perumahan raja/Usif terletak pada daerah ketinggian/bukit, sedangkan perumahan rakyat biasa terletak pada daerah yang lebih rendah. Pemanfaatan ruang luar/terbuka pada kompleks Sonaf lebih diutamakan pada kegiatan spiritual (upacara-upacara adat). Hal ini di tandai dengan didirikannya tiang–tiang tempat persembahan.

Jenis bangunan dalam masyarakat Dawan dapat dibagi menjadi :
a. Rumah Rakyat Kecil / Ume To Ana’.
b. Rumah Marga.
c. Rumah Raja / Sonaf ( Istana ), dan
d. Pondok Kerja.
Pada rumah rakyat biasa maupun rumah Raja di bagian depannya biasa di bangun/dilengkapi dengan Lopo (tempat pertemuan).

1. Rumah Rakyat Biasa (u me To Ana’).
a) Tipologi Bangunan.
Denah rumah rakyat biasa berbentuk bundar. Luasnya tergantung pada kebutuhan serta status sosial pemiliknya. Rumah dengan denah berbentuk bundar ini disebut Ume Kbubu (Rumah Bulat). Kadang disebut juga Ume Bife (Rumah Perempuan) karena sebagian besar kegiatan dari wanita terfokus pada rumah ini, misalnya : melahirkan, memasak, menenun, dan sebagainya. Sedangkan kegiatan pria lebih banyak di ladang.
b) Pondasi (Baki).
Pondasi dibentuk dari batu kali ceper yang disusun membentuk lingkaran sesuai dengan luasnya. Tinggi pondasi dari permukaan tanah antara 20 cm–40 cm. Fungsinya untuk mencegah masuknya air pada saat musim penghujan.
c) Lantai (Nijan).
Lntai bangunan terbuat dari tanah yang diurung diatas/ i dalam fondasi yang sudah berbentuk (bundar). Permukaan lantai kemudian diratakan.
d) Tiang (Ni).
Tian To Ana’ disini dibagi menjadi :
1. Ni Ana’ : Tiang yang mengelilingi bangunan. Tiang ini ditanam sesuai dengan bentuk denah (secara melingkar). Jumlah tiang tergantung dari luasnya. Jarak antara tiangnya juga bervariasi, namun rata–rata antara 1,5–2,5 m. Bentuk tiang diambil dari alam dan langsung digunakan tanpa dibentuk lagi, hanya dirapikan. Tiang ini dipilih yang agak lurus dan bercabang pada bagian atas yang mana nanti berfungsi untuk menopang Neu’ Nono. Jenis kayu yang digunakan antara lain : kayu merah atau kayu putih. Tinggi tiang Ni Ana’, makin dekat dengan pintu makin tinggi hingga kira – kira 1,25 m, sedangkan yang terpendek yang terjauh dari pintu 60 – 80 cm. Diameter tiang antara 10–15 cm.
2. Ni Tetu (tiang loteng/pelindung). Tiang ini dipakai sebagai tumpuan utama dari bangunan secara keseluruhan dan juga sebagai tumpuan untuk meletakan balok–balok loteng. Tiang ini juga meneruskan semua gaya–gaya vertikal ke tanah. Jumlah tiang ini adalah empat buah (4) dan di tanam dalam tanah sedalam 50 cm. Demikain pula halnya dengan Ni Tetu ini kayu yang digunakan harus dipilih yang bercabang pada puncaknya. Fungsinya sebagai tumpuan balok–balok loteng. Pada saat sekarang ini dengan peralatan yang cukup baik tiang yang bercabang ini diganti dengan bagian puncak yang ditakik menyerupai cabang asli. Karena berfungsi sebagai penerima seluruh gaya vertikal ke tanah maka konsekuensinya dimensi tiang harus cukup besar. Bentuk tiang ini bulat dan berdiameter antara 20–25 cm dan dipilih dari teras kayu merah/kayu putih, asam dan lain sebagainya. Tinggi tiang rata – rata berkisar antara 2,50–3,00 m.
3. Ni Enaf (Tiang Penopang Bangunan). Tiang ini diletakan dibaian tengah–atas balok loteng. Umlahnya satu (1) buah. Pada bagian bawah diberi takikan untuk memasukannya dalam Tunis, yang kemudian diperkuat dengan ikatan. Sedangkan bagian atas bercabang dan berfungsi untuk menopang balok bubungan. Bentuk Ni Enaf bulat, tingginya 2,00–2,50 m.
e) Dinding (Niki).
Dinding dipasang melingkari tiang (Ni Ana’). Beberapa kayu/bilah bambu melintang terdiri dari dua jalur diikatkan pada kayu/bambu melintang sekaligus merupakan perkuatan pada dinding. Tinggi dinding ± 0,50–0,80 m. Semakin dekat ke pintu semakin tinggi, dindingnya sampai 100 cm. Bahan dinding dipilih dari beberapa jenis bahan antara lain : papan, bambu cincang, batangt pinang cincang, pelepah gewang, kulit kayu dan sebagainya. Bagian bawah/ujung dinding dimuati diatas batu dengan tujuan agar tidak mudah rusak oleh rayap atau air.
f) Atap (Tefi).
Atap berbentuk kerucut sebagai akibat dari bentuk denah dan rangka ata. Puncak atap mempunyai dua bentuk yakni bulat (seperti sanggul wanita) dan pelana/palungan terbalik. Bentuk bundar (denah) atau metaphor sebagai bentuk bulat/kerucut (atap) mempunyai arti bentangan langit yang melingkupi bumi. Konstruksi rangka atap sendiri terdiri dari :
1. Nono Ana’/Neu’ Nono. Berupa kayu–kayu kecil (cemara) yang berdiameter antara 2–4 cm yang diikat menjadi satu kesatuan yang berbentuk lingkaran. Neu Nono ini bisa berfungsi sebagai ring balok, karena dipasang melingkari seluruh bangunan dengan bertumpu pada tiang–tiang keliling (Ni Ana’) kemudian diikat (tali Mausak).
2. Nono Tetu. Bahan dan diameter sama dengan Nono Ana’ tapi ukuran ikatannya sedikit lebih kecil. Fungsi untuk memberikan bentukan melingkar pada atap bagian tengah.
3. Nono Nifu/Nono Sene. Fungsinya sama yakni pemberi bentuk lingkaran pada bagian atas atap. Bahan serta ukurannya sama dengan Nono Tetu. Kadang hanya dipakai Nono Nifu saja/Nono Sene saja.Pada Rumah Raja (sonaf) digunakan kedua–duanya.
4. Suaf. Adalah sebuah balok bulat dan lurus, berdiameter 5 -7 cm (untuk Ume Kbubu) yang diletakan/diikatkan diatas semua Nono (Nono Ana’, Nono Tetu, Nono, Nono Sene/Nono Nifu). Balok ini diambil dari alam, yakni batang pohon cemara/yang lainnya, dan harus lurus dan panjang, utuh, tidak boleh disambung–sambung pada saat dipasangkan. Fungsi Suaf adalah : Sebagai pembentuk rangka atap, dan sebagai tempat untuk mengikatkan Takpani.
5. Takpani. Adalah batang – batang kecil cemara berdiameter 2-3 cm yang diikatkan arah melintang terhadap Suaf. Jarak antar Takpani 30–40 cm. Fungsi Takpani adalah sebagai tempat untuk mengikatkan alang – alang.
6. Penutup Atap. Penutup rangka atap menggunakan alang – alang (Hun).
g) Loteng (Tetu).
Loteng terdiri dari dua balok yang menumpu diatas empat tiang pendukung (Ni Tet ) yang disebut Suif. Diatas Suif diletakan melintang balok Nono, dan diatas Nono ini diletakan secara melintang balok Tunis. Di atas Tunis in digelar bambu cincang/ batang pinang cincang.
h) Pintu (Enok).
Pintu terbentuk dari susunan papan, bilah bambu/gewang secara vertikal. Tingginya 1m–1,25m, lebarnya 0,80–1,00 m. Pintu biasanya dibuka kedalam. Secara garis besar pintu orang Dawan dibagi atas : Daun Pintu (Bena) yang berarti ceper/datar dan balok diatas pintu (kbafnesu Fafof) dan balok dibawah pintu (Kbafnesu Penif). Pada kedua balok ini dibuat berlubang sebagai tempat memasukan Utin (Lidah Pintu). Lubang tersebut dinamakan Bola’/Kona’. Utin dan Bola melambangkan pria dan wanita. Selain lubang tempat memasukan Utin tadi, juga terdapat lubang lain yang disebut Kona Falo yaitu tempat memasukan Falo yang berfungsi sebagai kunci tradisional.
i) Tangga (Elak).
Tangga yang dimaksudkan disini adalah tangga yang digunakan untuk naik ke loteng yang disebut Elak. Elak dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Elak Ma’bola ( tangga berlubang ), terbuat dari sebatang kayu yang dilubangi empat sampai lima lubang.
2. Elak Se’at yakni sebuah bambu yang ditakik 4 – 5 takikakan.
3. Elak Haunua, Terdiri dari dua batang bambu yang dihubungkan dengan beberapa kayu pendek sekaligus sebagai anak tangga.

2. Rumah Raja / Istana ( Sonaf ).
a) Tipologi Bangunan.
Tidak seperti rumah rakyat biasa yang bundar, denah Sonaf agak lonjong/elips. Bentuk tersebut melambangkan alam semesta dan sebagai pemersatu/perangkul suku – suku. Luasnya juga lebih besar dari Ume Kbubu. Ruangan dibagi dua yaitu :
1. Sulak : Ruang yang digunakan untuk pertemuan kepala–kepala suku.
2. Bife : Ruang tempat tinggal, memasak, tidur, menyimpan benda pusaka. Ruang ini hanya boleh dimasuki oleh pemiliknya saja, tidak sembarang orang yang boleh memasukinya kecuali diberi ijin khusus dan sanggup mentaati pantangan-pantangan yang ada.
b) Pondasi (Baki).
Seperti halnya dengan Ume Kbubu, bahan pondasi berasal dari batu kali ceper yang disusun setinggi 20–40 cm dari permukaan dan membentuk lingkaran. Fungsinya sama yaitu mencegah masuknya air hujan ke dalam ruangan.
c) Lantai (Nijan).
Setelah pondasi terbentuk, pada bagian tengah lingkaran yang sudah dibatasi dengan batu kali dimasukan batu kerikil dan diatasnya diurug dengan tanah sampai rata.
d) Tiang (Nono).
Tiang struktur pada Sonaf ini dibagi 3 bagian yakni :
1. Ni Ana’ : Tiang yang dipasang keliling bangunan. Jumlah tiang ini melambangkan suku–suku yang berada di bawah naungan kepemimpinan raja yang mendiami Sonaf ini. Tinggi tiang dan jarak antara tiang sekitar 150 cm. Tiang–tiang ini diberi ukiran. Untuk bahan tiang ini digunakan teras pohon kayu merah / teras kayu putih yang lurus. Pada bagian atas tiang diberi takikan yang menyerupai cabang (Tatone) yang berfungsi sebagai penopang Neu’ Nono. Diameter ruang rata–rata 15 cm.
2. Ni Tetu (Tiang Loteng) : Tiang ini berfungsi menopang balok–balok loteng di atasnya. Jumlah tiang ini 4 buah yang terletak dibagian dalam (Ruang perempuan/ruang tinggal). Tinggi tiang adalah 2,50 cm dan berdiameter 20 cm. Tiang dipilih yang lurus dan bahan dari teras pohon kayu merah. Bagian atas tiang ditakik menyerupai cabang (Tatone), dipakai sebagai tempat menumpu balok Suif. Ke empat tiang ini melambangkan 4 suku besar yakni : Uis Sanak, Uis Lake, Uis Bana, dan Uis Atoh.
3. Ni Ainaf : Tiang Utama. Tiang ini lebih tinggi dari tiang yang lain (4,00 m) dan melambangkan adanya makhluk yang supra natural. Jumlah tiang ini ada dua. Yang satu berada di ruang dalam/ruang perempuan (Bife) dan yang lainnya berada di luar/tempat pertemuan (Sulak). Diameter tiang ini lebih besar dari tiang lain (25 cm) dan pada puncaknya terdapat cabang alamiah. Cabang tersebut berfungsi sebagai penopang balok bubungan (Lael) di atasnya. Bahan yang dipilih sebagi tiang utama ini adalah teras kayu merah / putih yuang diberi bentuk bulat polos tanpa ukiran.
e) Dinding (Niki).
Bahan dinding berasal dari pohon kayu merah yang dibelah menjadi papan. Papan dipasan melintang dengan perkuatan dua kayu melintang, papan–papan disatukan dengan diikatkan pada tiang–tiang (Ni Ana’). Tinggi dan tebal papan yang mengelilingi bangunan adalah 1,50 m dan 2cm. Sedangkan dinding yang membatasi ruang Bife dan Sulak tingginya 2,50 m dan tebalnya 4 cm. Pada bagian bawah dinding diberi alas dari balok kayu yang diberi sponing untuk memasukan papan tersebut kedalam. Tujuannya untuk mencegah merembesnya air ke atas dinding dan menghindari serangan rayap–rayap. Balok–balok ini disebut Penif.
f) Atap ( Tefi ) :
Bentuk atap agak berbeda dengan Ume Kbubu terutama pada bagian bubungan yang lebih panjang dan pada bagian depan teritisnya tidak sampai ke tanah malah agak tinggi. Elemen – elemen konstruksi atap Sonaf :
1. Non Ni Ana’/Neu Nono : Adalah rangkaian batang–batang cemara berdiameter 2 – 4 cm, yang diikatsatukan dan diletekan di atas Ni Ana’ (tiang anak) secara melingkar sesuai dengan bentuk denah yang ada. Fungsinya untuk menyatukan/mengikat tiang–tiang secara keseluruhan dan sebagai tumpuan Suaf.
2. Non Loti : Rangkaian batang–batang cemara. Ukuran ikatan lebih kecil dari Non Ni Ana. Fungsinya sebagai tempat untuk mengikat Loti dan diikat melingkari ujung–ujung balok loteng. Fungsinya selain sebagai pembentuk lingkaran juga untuk mengikat ujung–ujung balok loteng.
3. Non Nifu & Nono : Funsinya sama yakni pemberi bentuk (lingkaran) dan juga sebagai tumpuan Suaf.
4. Non Sene : Berfungsi sebagai pemberi bentuk bagian atas.
5. Loti. Loti ditempatkan di teritisan depan rumah. Fungsinya untuk menopang bagian teritis depan rumah agar lebih tinggi dari bagian teritis yang lain. Jumlah Loti mencerminkan jumlah suku–suku yang tergabung.
6. Suaf. Ukuran Suaf pada Sonaf umumnya lebih besar dari Ume Kbubu. Diameter batang 7–10 cm. Bahan Suaf dari batang–batang cemara yang lurus utuh tanpa adanya sambungan. Suaf diikat diikat diatas semua Nono. Pada bagian bawah diberi takikan (Tkoma) yang fungsinya sebagai tempat untuk mengaitkan tali–tali yang diikatkan pada Non Ni Ana’.
7. Takpani : adalah batang–batang kecil yang diikatkan melingkar diatas Suaf. Diameter Takpani 2–3 cm. Fungsi Takpani sebagai tempat mengikatkan bahan penutup atap (alang–alang / Hun).
g) Loteng.
Sistem konstruksi loteng sama dengan pada Ume Kbubu, tapi tiang penopang balok bubungan tidak menopang pada balok loteng namun berasal dari tiang induk (Ni Ainaf) yang ditanam dalam tanah.
h) Pintu.
Pintu asli untuk Sonaf terbuat dari dua lembar papan yang tingginya 2,00 m. Tebal masing–masing papan sampai dengan pegangannya 15 cm. Tebal papannya sendiri kira–kira setengah dari tebal sampai dengan pegangannya. Lebar masing–masing papan 50 cm. Pegangan pintu (Eka Kolok) masing–masing dua buah yaitu disebalah kiri dan kanan. Pegangan pintu ini dibuat dengan cara memahat sebuah papan yang tebal (15 cm) sampai terbentuknya pegangan tersebut. Jadi pegengan pintu ini menyatu dengan pintu tanpa adanya paku, pasak, lem, tali pengikat dan sebagainya. Pada permukaan pintu ini juga diberi Ukiran serta lubang yang tembus pada sisi-sisinya sebagai tempat untuk memasukan sejenis palang pintu tradisional (Hau Eka). Pintu ini juga terbagi atas 3 bagian besar :
1. Daun pintu ( Bena ).
2. Balok di atas pintu ( Kbafnesu Fafof ).
3. Balok di bawah pintu ( Kbafnesu Penif ).
Pada bagian atas dan bawah balok ini diberi lubang (Bola‘) tempat memasukan lidah pintu (Utin). Utin dan Bola’ berfungsi sebagai engsel pintu dan melambangkan pria dan wanita.

3. Rumah Tempat Pertemuan Umum (Lopo / Ume Buat)
Lopo dalam bahasa Dawan berarti rumah tempat musyawarah/tempat pertemuan umum. Ume Lopo sering disebut pula sebagai rumah Ume Atoni (Rumah laki–laki) karena lebih sering ditempati, dimasuki, dipakai oleh kaum laki–laki. Konstruksi Ume Lopo secara keseluruhan sama dengan Ume Kbubu. Yang membedakannya adalah teritisnya tidak sampai ke tanah. Jaraknya dari permukaan tanah antara 150–200 cm, tidak berdinding dan tidak berpintu. Nama Ume Lopo diberikan sesuai dengan keadaan teritis yang tidak sampai ke tanah. Sedangkan Ume Buat berarti rumah tempat berkumpul.
a. Tipologi.
Denah Ume Lopo sama dengan rumah tinggal (Ume Kbubu). Bentuknya bundar dengan garis tengah 6,00–8,00 m. Letaknya berada di depan. Ume Bife (rumah perempuan) atau Ume Kbubu memberikan makna simbolik sebagai pelindung.
b. Bentuk bagian – bagian.
1. Tiang ( Ni ).
Bentuk tiang lopo adalah bulat denagan diameter 20–30 cm. Jumlah tiang adalah 4 buah (Ni Tetu), sebagai pendukung balok–balok loteng yakni sebuah tiang pendukung balok–balok loteng. Di tengah–tengah persilangan diagonal loteng terdapat sebatang kolom disebut Ni Enaf yang bertumpu pada balok–balok loteng (Tunis). Jenis pohon yang dipakai sebagai tiang adalah teras kayu Kmel (jenis kayu merah), teras kayu putih (Hu’e), Matani (sejenis kayu marambi), Ayotias (teras Kasuari), Kiu Tias (teras asam). Ke-empat tiang Ni Tetu setinggi 3,00 m ditanam sedalam 0,50 m. Ujung tiang (Ni) bagian atas yang berdiameter paling kecil disebut Utin. Bagian ini berfungsi sebabagai sambungan yang akan dimasukan kedalam lubang pahatan yang terdapat pada balok melintang (Suif). Dibawah Utin terdapat sebuah alur untuk penempatan Benatu’as (lempengan kayu/batu bundar) sebagai pencegah tikus agar tidak naik ke loteng. Bagian bawah Benatu’as terdapat Tkoma Maeka yakni bagian yang diukir untuk memperindah tiang.
2. Atap.
Bentuk maupun konstruksi atap Ume Lopo pada dasarnya sama seperti pada Ume Kbubu. Perbedaannya hanya pada teritis atap lopo yang tidak sampai menyentuh tanah, tetapi berjarak dari permukaan tanah 150 – 200 cm.
Bentuk puncak atap Lopo ada 2 macam yaitu ;
a. Berbentuk pelana /palungan terbalik, dan
b. Berbentuk kerucut.
Read More......

ARSITEKTUR RUMAH BELU

1. Pola Pemukiman/Perkampungan
Pola perkampungan arsitektur rumah Belu pada umumnya mencerminkan hubungan masyarakat terhadap alam, tatanan sosial, keadaan alam, sistem bercocok tanam, dan kosmologi masyarakat yang mendiaminya.
Konsep ruang dalam tatanan perkampungan dalam rumah Belu merupakan bagian penting dari tradisi vernacular masyarakat setempat. Tipe tatanan permukiman dan rumah dari kampung-kampung tradisional di Belu pada umumnya merupakan tipe cluster (tanean), yang dari waktu–ke waktu tatanan ini mengalami evolusi dalam perkembangannya.
Pola perkampungan/pemukiman rumah adat suku Matabesi adalah salah satu contoh pemukiman adat di Belu. Pemukiman ini memiliki tipe cluster, dengan “uma Bot” sebagai sentral/ pusat perkampungan. Perletakan tempat yang dianggap sakral, pemukiman suku Matabesi terletak di depan kampung, yakni pada daerah yang lebih tinggi.

Selain itu, di depan tiap rumah adat 13 suku dalam Suku besar Matabesi juga diletakkan batu persembahan (aitos), sebagai tempat berlangsungnya upacara adat. Tatanan pemukiman pada perkampungan suku Matabesi, mewajibkan tiap rumah yang didirikan harus menghadap/ berorientasi ke arah Timur atau menghadap Lakaan (gunung tertinggi di Kab. Belu).

Kampung suku Matabesi terletak diatas puncak bukit dengan topografi yang berundak – undak. Kampung ini dikelilingi oleh kebun (To’os) sebagai pembatas desa yang dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan pencaharian. Di samping itu, yang juga menjadi pembatas fisik kampung adalah kondisi topografi yang curam.
a.Gerbang kampung (Kanokar)
b.Bangunan megalitik, terdiri dari kuburan (rate) dan mezbah (aitos)
c.Pelataran terbuka (sadan)
d.Mata air ( we matan)
e.Kebun ( To’os)
f.Kampung dalam (Leo laran)
g.Rumah adat (Uma Lulik/Pamali)

2. Tipologi Arsitektur
Tipologi arsitektur rumah tradisional suku Matabesi dapat dibagi dalam tipologi fungsi, tipologi bentuk dan tipologi langgam.
Dari segi fungsi, rumah tradisional suku matabesi dapat dibedakan setidaknya atas 3 jenis, yakni uma kakaluk (rumah terlarang), uma bot (rumah besar/pusat semua kegiatan adat/uma Pamali), dan uma laran (rumah tinggal rakyat).



Dari segi tipologi bentuk, rumah adat suku matabesi juga ada dua, yakni rumah beratap perahu terbalik dan yang beratap limasan pada rumah tinggal rakyat.
Sedangkan ditinjau dari segi tipologi langgam, maka arsitektur rumah tradisional Belu-suku Matabesi (uma Bot) dalam kekiniaannya mengenal adanya lagam khas arsitektur Belu (atap perahu terbalik) dan tipologi langgam yang memiliki keserupaan dengan arsitektur Sabu dan Rote dengan beberapa perbedaan serta varian yang menunjuk pada jati diri masing – masing daerah Belu, Sabu dan Rote.
Namun secara tipologi fungsi bentuk arsitektur rumah tradisional Belu – Suku Matabesi ini berbeda dari masa lampau, terlihat pada topologi berbentuk panggung. Sebelumnya, rumah adat suku matabesi berpanggung rendah akni kisaran 50-70 cm, tetapi seiring berjalan waktu, dibutuhkan ruang untuk beraktifitas maka panggung ini ditinggikan sekitar 1,8 – 2 m.
3. Pola Ruang
Pola/ tata ruang dalam arsitektur tradisional Belu – Suku Matabesi secara hirarkis dibagi atas dua, yakni secara horisontal dan secara vertikal.
Secara horisontal pola ruang pada arsitektur rumah belu – suku matabesi (uma bot) dibagi atas tiga ruang (berdasarkan adat perkawinan/kawin keluar/patrilinear), dengan ruang tengah sebagai inti rumah, ruang ini bersifat profan, yakni digunakan juga dalam aktifitas sehari – hari serta sakral karena digunakan sebagai tempat melakukan aktifitas upacara adat dalam rumah, juga bersifat sakral dikarenakan ruang ini memiliki pantangan tersendiri (wanita yang dinikahi tetapi belum lunas belisnya tidak boleh masuk ruang ini).
Bagian depan rumah merupakan ruang yang bersifat profan serta terbuka untuk umum. Dikatakan terbuka untuk umum karena ruang ini boleh dimasuki oleh segala gender dari segala usia (siapa saja boleh masuk/ tidak ada ikatan adat).
Ruang belakang diperuntukan untuk aktifitas perempuan seperti memasak dan pekerjaan rumah tangga yang lain (slak ha’i). Perempuan yang belum lunas belisnya hanya diperbolehkan masuk dan tinggal di dalam ruang ini. Ruang ini dibatasi oleh sebuah balok lantai (kotan) dengan ruang tengah, , apabila belisnya sudah lunas diadakan upacara adat untuk melangkahi kotan ini.
Secara vertikal rumah tradisional belu – suku Matabesi, dibagi menjadi tiga bagian besar, yakni kolong rumah (o’hak laran), bagian dalam rumah - diatas panggung (uma Laran) serta bagian atas/ loteng rumah (kahak Leten).
O’hak Laran berfungsi sebagai tempat untuk menenun,anak – anak bermain dan memasak yang sekarang dilakukan di luar rumah. Sebenarnya o’hak laran merupakan tempat yang tidak dipakai untuk aktifitas (tinggi panggung 80 cm) karena dipercaya sebagai tempat dunia orang mati, tetapi akibat bertambahnya kebutuhan ruang ruang ini berubah fungsi sebagai tempat aktifitas sehari – hari.
Uma laran merupakan tempat tinggal manusia, dipercaya sebagai dunia orang hidup.
Yang terakhir bagian yang dianggap sakral/suci, Kahak leten tempat menyimpan benda adat dipercaya sebagai dunia leluhur. Kahak leten ini dibagi atas dua bagian menurut fungsinya yakni kahak Lor tempat menyimpan benda pusaka/kakaluk dan kahak kotuk difungsikan sebagai lumbung makanan.
Pola ruang luar pada permukiman (perkampungan) tradisional Belu (Uma Bot) pada dasarnya memiliki konsep dan hirarki ruang yang identik dengan pola/hirarki pada tata ruang dari dalam arsitekturnya. Inti dari ruang luar pada tata tapak permukiman tradisional Belu ini adalah bangunan megalitik dan pelataran terbuka (sadan) di depan kampung.
Pada bangunan Megalitik ada juga kuburan pahlawan mereka (Meo) dan tempat upacara adat (Aitos), sedangkan Sadan berfungsi ganda sebagai tempat upacara adat yang sakral dan bisa juga bersifat profan karena digunakan juga sebagai tempat melakukan aktifitas sehari – hari seperti bermain dan melakukan komunikasi antar warga kampung.
4. Sistem Struktur dan Konstruksi
Ditinjau dari sistem struktur dan konstruksinya ,rumah adat suku Matabesi Belu Utara memiliki sistem struktur rangka berupa rumah panggung. Pada sistem struktur ini beban – beban bangunan ditransferkan melalui tiang – tiang utama (ada dua tiang utama yang ditanam sampai ke atap – kakuluk mane dan kakuluk feto) dan tiang – tiang penunjang (biasanya selalu berjumlah ganjil tergantung besarnya rumah yang dibangun – 5,7,9) yang satu sama lainnya dihubungkan dengan balok – balok horizontal dan ring pembentuk lingkaran. Tiang – tiang tersebut pada umumnya menggunakan sistem jepit (ditanam), sedangkan perkuatan antara tiang dan balok menggunakan sistem sendi (diikat dengan ijuk ataupun daun gawang/lontar).
Pada dasarnya material yang digunakan untuk bangunan tradisional di Nusa Tenggara Timur (termasuk Belu), untuk tipologi fungsi satu dengan yang lain tidak terdapat perbedaan yang signifikan, kecuali penggunaa material tertentu untuk rumah adat yang tidak diperkenankan pada bangunan rumah tinggal biasa, contohnya pada jenis kayu yang digunakan sebagai tiang utama rumah adat (fai ulun),balok lantai (neku fatuk/jati hutan)
Secara umum bahan bagunan yang digunakan sebagai bahan untuk bangunan tradisional di Belu [Uma Bot] berdasarkan penggunaannya terdiri dari 2 [dua] macam, yakni bahan struktural dan non struktural serta bahan bangunan konstruktif dan non konstruktif. Bahan bangunan yang digunakan pada arsitektur rumah tradisional Belu umumnya terbuat dari kayu dan bebak sebagai bahan struktural atau bahan konstruktif. Sedangkan bahan yang non strutuktural atau non konstruktif ialah berupa alang-alang (haemanlain) atau ijuk sebagai bahan penutup atap. Kayu merupakan bahan struktural atau konstruktif yang paling dominan digunakan dalam membangun rumah adat [termasuk aitos yang terdapat di tiap – tiap sadan], baik yang di olah dalam bentuk persegi[tiang dan balok persegi] maupun dalam bentuk gelondongan [bulat] dengan tanpa olahan khusus, kecuali kulitnya yang di kupas. Kayu dalam hal ini terutama digunakan untuk tiang kakaluk[ kakaluk mane dan kakaluk feto], ai kabelak [papan untuk lantai dan dinding).
Bahan penutup atap yang bersifat non struktural atau non konstruktif dalam kearsitekturan Belu [termasuk di kampung Suku Matabesi-Sesekoe], khususnya arsitektur tradisional tidak terdapat perbedaan antara bahan penutup atap untuk rumah adat dengan rumah tinggal biasa. Uma Lulik [rumah adat] umumnya menggunakan haemanlai [daun lontar]. Sebagian besar diambil dari sekitar kampung Matabesi – Sesekoe. Dalam pengolahannya sebagai material bangunan, bahan-bahan umumnya dikerjakan secara manual dengan sentuhan teknologi yang sederhana serta sistem pengawetan secara manual dan sederhana pula. Bahan-bahan bangunan ini setelah ditebang atau diberi bentuk [diolah] biasanya tidak langsung digunakan, melainkan untuk sementara waktu di hutan hingga bahan-bahan bangunan tersebut menjadi kering dan dianggap layak untuk digunakan. Dalam hal ini proses pengawetan material bangunan tersebut biasanya dilakukan secara alami. Selain itu, masa pengawetan bahan bangunan ini juga merupakan suatu masa persiapan dalam rangka pembangunan rumah adat serta menunggu waktu yang tepat untuk mendirikan suatu bangunan. Material bangunan ini dalam pembangunannya mengalami perlakuan-perlakuan tertentu sesuai dengan kemampuan teknologi yang dimiliki. Perlakuan terhadap bahan-bahan bangunan ini biasanya dilakukan dengan 2 [dua] kemungkinan. Pertama, bahan-bahan tersebut diberi bentuk tertentu berupa balok-balok persegi. Kedua, bahan-bahan bangunan tersebut tidak diberi bentuk khusus, tetapi dibiarkan
5. Ragam Hias
Arsitektur Tradisional Belu Utara memiliki beberapa bentuk ragam hias yang terletak baik itu terukir di dalam rumah maupun yang terukir di aitos.
Ukiran yang terdapat di dalam rumah terletak pada daun pintu ukiran – ukiran itu berbentuk beranekaragam seperti ayam (manu), belut (tuna) dan kucing (busa). Ukiran ayam (manu) merupakan simbol kemenangan akan perang, ukiran belut (tuna) melambangkan pembelah ombak, simbol ini ada kaitannya dengan agama masyarakat setempat yang banyak menganut agama katolik, yang dimana dalam Alkitab diceritakan bahwa Musa melempar tongkatnya yang kemudian berubah menjadi ular (smea), oleh musa digunakan untuk membelah laut merah sebagai pembebesan bangsa mesir dari israel. Sementara itu, ukiran kucing (busa) melambangkan berkah dalam mencari makan (pekerjaan)
Ukiran ragam hias lain dalam Arsitektur Tradisional Suku Matabesi Belu terdapat pada mesbah/ meja persembahan (aitos). Ukiran ini terdiri dari tiga lapisan gambar yang menjadi satu kesatuan, ukiran ragam hias ini dikenal dengan sebutan Makarek Madaen yang melambangkan pejalanan Sina Mutin Malaka, diambil dari analogi bukit dan lembah digunakan sebagai simbol penghargaan bagi Sina Mutin Malaka yang dimana menurut kepercayaan masyarakat setempat pada waktu itu leluhurnya datang dari arah Laut (Larantuka) melewati gunung dan lembah (Lakaan).
Selain Makarek Medaen ada juga bentuk mata tombak (Matan Diman), khususnya terdapat pada aitos uma Meo. Analogi mata tombak ini melambangkan keberanian Meo dalam menghadapi peperangan.
Bangunan megalitik kampung Matabesi – Sesekoe dibagi atas empat jenis, diantaranya adalah :
a. Fatuk aitos, diletakan sebagai dasar berdirinya aitos fungsinya sebagai perkuatan/alas berdirinya aitos. Selain itu juga sering digunakan utuk meletakan persembahan dalam ukuran besar seperti kerbau,babi ataupun ayam.
b. Fatuk lulik, berada tepat di atas aitos fungsi fatuk lulik sebagai meja persembahan untuk meletakan persembahan/sesajen dalam bentuk sirih pinang bagi para leluhur dalam suatu upacara adat. Fatuk aitos dan fatuk lulik merupakan suatu kesatuan yang menyatu dalam aitos itu sendiri.
c. Sadan Sri fo’on Lakaan, merupakan tempat untuk menaruh Persembahan Kemenangan perang berupa kepala-kepala lawan yang telah dikalahkan dalam perang sebagai tanda bahwa warga kampung Matabesi telah memenangkan peperangan dalam merebut wilayah kekuasaan sekitar daerah tersebut serta berterimakasih pada leluhur yang telah membantu dalam peperangan (yang memberi kekuatan). Sadan Sri fo’on Lakaan ini dibagi atas dua tempat yang satunya berada di muka kampung sementara yang lainnya berada pada tempat yang lebih tinggi, dimaksudkan untuk menunjukan kemenangan pada daerah – daerah sekitarnya.
d. Hingga pada saat sekarang ini, Sadan Sri fo’on Lakaan masih digunakan sebagai awal dari upacara – upacara besar yang terjadi di kampung Matabesi – Sesekoe ini. Contohnya, digunakan sebagai tempat persembahan pada upacara awal musim panen ataupun upacara awal musim tanam. karena Sadan Sri fo’on Lakaan merupakan awal pintu masuk kawasan kampung tersebut, tempat ini besifat profan dan sakral.
e. Rate Meo (Kuburan Pahlawan) Kuburan pahlawan ini adalah salah satu bangunan megalitik yang terdapat di dalam kampung Matabesi – Sesekoe. Pada upacara – upacara tertentu, rate meo ini sering digunakan sebagai salah satu tempat upacara adat seperti pada upacara adat untuk mengambil kekuatan/ keberanian muda – mudi suku Matabesi sebelum merantau.
6. Upacara Membangun Rumah
Bagi orang Belu, khususnya suku Matabesi - Sesekoe rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal, tempat berteduh dari panas dan hujan melainkan juga merupakan bangunan yang ditata secara perlambang yang konteks dengan sosial budaya masyarakat yang tinggal didalamnya sehingga diperlukan tata cara dalam pendirian rumah.
Dalam hal ini, mendirikan rumah dapat dilihat sebagai penerapan hidup dalam lingkungan sosial yang diwakilinya. Upacara dilakukan mulai dari pembersihan lahan rumah, penentuan titik pembangunan rumah, pendirian tiang utama/kakaluk mane dan kakaluk feto, pemasangan bubungan atau atap rumah, sampai upacara masuk/penghunian rumah.
Hal ini dilakukan secara bertahap dan melibatkan pemilik rumah (uma nain) dan pemuka kampung (makoan) atau orang yang dianggap keramat. Misalnya, proses pembersihan dan pendirian tanda rumah dilakukan pemilik rumah dalam hal ini ibu/perempuan pemilik rumah dengan orang sakti yang tahapannya dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Upacara pembersihan dan meminta izin kepada roh di dunia dan leluhur yang memiliki tanah dilakukan oleh hampir semua etnis atau masyarakat tradisional Indonesia. Ritual ini bertujuan untuk memberikan spirit atau jiwa bagi kehidupan yang berlangsung didalam rumah/bangunan yang didirikan. Spirit atau jiwa dari rumah yang didirikan sering disimbolkan dalam benda keramat yang diletakkan di dalam rumah, seringkali di letakkan pada bagian tengah atau atas (atap) rumah. Misalnya raga-raga yang digantung dibawah atap rumah Batak Toba. Selain menjadi jiwa atau nyawa dari rumah, berfungsi juga mengusir roh – roh atau gangguan dari luar terhadap keselamatan penghuni rumah.
Selain itu, rumah juga dianggap sebagai perwujudan jagad kecil dari jagat raya. Rumah adalah tempat kelahiran, perkawinan dan kematian. Seringkali upacara yang berhubungan dengan ketiga hal tersebut dikaitkan dengan arah mata angin dan pergerakan matahari. Sehingga unsur kejagadan ini menciptakan tatanan upacara yang mengatur kegiatan di dalam rumah. Sebagai contoh timur dianggap serupa dengan hal-hal memberi kehidupan dan barat identik dengan kematian; maka wanita melahirkan ditempatkan di bagian timur rumah dan orang meninggal ditempatkan dibaringkan di bagian barat. Dalam sisi tegak, pembagian ruang dalam rumah sebagai jagad kecil merefleksikan pembagian ruang dalam alam semesta.
Sebagian besar masyarakat tradisional Indonesia membagi alam kedalam tiga bagian; dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Kosmologi ini juga mempengaruhi pembagian ruang dalam rumah ; ruang dibawah atap disamakan dengan alam dewa dan leluhur, lantai mewakili dunia biasa pengalaman sehari – hari dan ruang kosong dibawah rumah dihubungkan dengan alam baka yang dihuni oleh roh jahat, jiwa orang mati dan hal-hal gaib lainnya.
Dalam masyarakat tradisional, selain pembagian rumah yang dikaitkan dengan symbol sebagai jagad kecil, arah kejagadan rumah sesuai dengan penataan ruang perlambang lain, seperti pembagian dengan konsep berdasar gender serta gagasan mengatur perilaku pria dan wanita. Seringkali wanita dikaitkan dengan bagian dalam atau belakang rumah, dan pria serupa dengan bagian depan atau luar rumah. Pengaturan ruangan keluarga di dalam rumah suku Minangkabau di Sumatera Barat sangat dipengaruhi oleh konsep gender tersebut.
Demikian halnya dengan proses pembangunan rumah adat Suku Matabesi, awalnya Tua-Tua aadat berkumpul membicarakan rencana Pembangunan Rumah Adat, setelah mendapat kesepakatan yang bulat Makoan memohon persetujuan dari para Leluhur/nenek moyang untuk mencari hari baik memotong bahan/ material yang dibutuhkan. Pemotongan bahan-bahan tersebut selesai, sementara waktu di tinggalkan untuk mencari hari baik lagi mengumpulkan bahan-bahan yang telah disiapkan. Sementara itu dalam proses menunggu hari pegumpulan behan, lahan untuk memdirikan Rumah adat di siapkan dengan membuat dua Lobang untuk memasang/ tanam 2 tiang utama yakni Tiang Laki dan Tiang Mai. Ke-dua tiang ini tidak boleh menyentuh tanah sebelum tempat yang di sediakan belum selesai, karena tiang-tiang ini dianggap Suci dan sakral. Disamping itu konstruksi atapnya pun dirakit untuk siap dipasang. Setelah tiang Laki dan Tiang Mai berdiri proses pembangunan dilanjutkan sampai selesai dalam jangka waktu satu hari sebelum matahari terbenam.
7. Fungsi Rumah Adat/Suku
Rumah adat suku besar matabesi didalam kampung sesekoe seperti telah diuraikan sebelimnya bahwa ada 12 ( dua belas ) rumah adat yang memngelilingi satu rumah besar ( uma bot ). Ke 13 ( tiga belas ) rumah adat ini memiliki fungsi yang sama.
Pada kesehariannya rumah adat ini bias bersifat profand yakni sebagai rumah tinggal tapi tidak terlepas dari rumah adat yang mengikat. Contohnya bila sesorang pria yang belum melunasi uang kawin ( belis / mahar ) pada saat dilakukan upacara maka tidak diperkenanankan ( pemali ) untuk berada dalam ruang laki – laki.
Lain halnya kalau ada ritual adat tertentu rumah adat ini akan berubah menjadi sakral karna rumah adat dijadikan salah satu tempat berlangsungnya rumah adat tersebut.
8. Letak pemukiman dalam kaitan konsep kepercayaan
Kampung tradisional di Belu khususnya kampung suku besar Matabesi bertempat di puncak bukit. Hal ini dikarenakan, secara spiritual masyarakat Belu menganggap puncak bukit merupakan simbol yang menghubungkan permukiman sebagai mikrokosmos dengan alam atas sebagai tempat yang kuasa, yang empunya alam semesta sebagai makrokosmos. Oleh karena itu, dengan mendirikan permukiman diatas bukit atau puncak gunung, diharapkan setiap permohonan yang mereka panjatkan akan cepat terjawab.
Secara logika, pada kenyataannya pemukiman di atas bukit menunjukan perlindungan dari segi keamanan fisik. Puncak bukit merupakan tempat yang strategis untuk mengatur pertahanan dan mengawasi musuh yang menyerang mereka (Budilay, 1989: 47).
Dari segi kesehatan, puncak bukit atau gunung relatif lebih baik, karena lahan atau kawasan pemukiman cepat kering pada waktu hujan serta aliran udara lebih lancar. Mengacu pada keyakinan orang (masyarakat) Belu akan para leluhur atau para dewa mereka yang tinggal di puncak bukit atau gunung ini, pada dasarnya dilandasi oleh kepercayaan pendukung tradisi megalitik yang berkembang atau berlangsung lebih tua. Gunung-gunung biasanya dianggap suci oleh pendukung tradisi megalitik tersebut, hal ini dibuktikan dengan masyarakat Belu yang menanggap gunung Lakaan sebagai tempat suci. Dengan demikian maka tidak mengherankan apabila gunung Lakaan sangat mempengaruhi cara-cara dan sistem tertentu untuk mendirikan permukiman.
Pengaruh dari kepercayaan ini sekaligus menyebabkan masyarakat pendukung megalitik, dalam hal ini masyarakat Belu khususnya suku besar Matabesi,pada cara mendirikan bangunan-bangunan di atas bukit, dengan orientasi bangunan menghadap Timur dimana posisi Gunung Lakaan. tujuannya adalah untuk mendekatkan diri dengan zat tertinggi yang bersemayam di gunung atau tempat yang tinggi.
Pola pikir masyarakat Belu membuktikan diri sebagai masyarakat pendukung megalitik. Konsep kepercayaan mempengaruhi penataan permukiman serta tatanan kehidupan masyarakat yang diwujudkan dalam berbagai ritus upacara adat. Untuk melaksanakan upacara tersebut diperlukan tempat-tempat upacara yang sesuai dengan kepercayaan mereka. Kebutuhan akan tempat upacara inilah yang menyebabkan adanya pembagian ruang/tata kawasan pemukiman serta rumah mereka yang terkadang sangat tegas membedakan antara tempat yang bersifat sakral dengan tempat-tempat yang bersifat profan. Bangunan yang didirikan pun harus menghadap arah gunung lakaan sebagai gunung suci.
Pada kenyataannya, yang terlihat dilokasi kampung adat matabesi telah terjadi pergeseran yang mengiringi perubahan pola pikir masyarakat setempat akibat pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat suku matabesi yang makin hari makin bertambah mulai mengembangkan pola perkampungannya lebih ke arah tempat – tempat yang lebih rendah yang dekat dengan jalur jalan raya. Bangunan perumahan yang dibangun pun menggunankan bahan bangunan yang modern (beton, batu bata dan seng). Orientasi rumah tidak lagi harus menghadap arah Gunung lakaan sebagai suatu prasyarat adat setempat melainkan lebih ke arah perletakan jalan. Walaupun, Pemukiman yang terletak di puncak bukit yang merupakan cikal bakal perkampungan Sesekoe - Matabesi memang tidak ada perubahan yang terlalu signifikan dan masih tetap dipertahankan, yang disayangkan perkampungan matabesi hanyalah menjadi suatu benda situs budaya yang dipajang. Hal ini dikarenakan, perkampungan tua ini hanya ditinggali oleh segelintir orang dalam kasus ini kepala suku kampung tersebut dan tua – tua adat yang lainnya.
9. Nilai-nilai Simbolisme Rumah Adat
Menurut Abdul Aziz Said (2004:49) pada semua kebudayaan tradisional, rumah merupakan karya manusia dalam wujud tiga dimensional yang dianggap memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Rumah menciptakan ‘ruang khayal’ di dalam ruang nyata yang dapat dipergunakan, tempat yang membatasi ‘sesuatu’ terhadap dunia sekitarnya dan bertujuan menjadikan manusia sebagai ‘bagian utama’ dari lingkungan sekelilingnya.
Lebih lanjut Abdul Aziz Said mengatakan, bahwa bagi masyarakat tradisional, rumah dibangun atau didirikan, dihuni dan dipergunakan oleh manusia,bukan sekedar untuk mewadahi kegiatan fisik belaka, yang hanya mempertimbangkan segi kegunaan praktis semata seperti untuk tidur, bekerja dan membina keluarga. Bagi mereka tumah merupakan ungkapan ‘alam khayal’ pikiran dalam wujud nyata yang mewakili alam semesta, dimana alam pikirannya selalu diliputi oleh mitos dan bayangan terhadap sesuatu (dewa-dewi) yang mempunyai kekuatan atau kekuasaan yang mengatur alam ini. Oleh karena itu, membangun sebuah rumah berarti menciptakan sebuah alam kecil (mikrokosmos) di dalam alam semesta (makrokosmos), sehingga dianggap memulai hidup baru. Hal inilah yang menjadi konsep dasar dalam setiap upaya mendirikan bangunan pada masyarakat tradisional.
Rumah tradisional di beberapa daerah (negara) di Asia Tenggara pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya (termasuk juga di Nusa Tenggara Timur) diakui mempunyai banyak signifikansi. Ruang di dalam rumah yang merupakan wadah tiga dimensional, tidak hanya sebagai suatu bagian yang membatasi ruang dengan dunia sekelilingnya secara fisik, tetapi juga dalam arti keberadaanya sebagai ruang merupakan ungkapan simbolik (Said, 2004: 52).
Terdapat pengertian yang lebih luas mengenai konsep dan struktur kosmos, seperti strata/hirarki vertikal mengenai ‘surga’ (dunia atas), dan ‘bumi’(dunia bawah) atau aturan-aturan horisontal yang mengacu pada titik pusat (‘cardinal point’), termasuk juga catatan mengenai lokasi antara gunung dan laut. Kesemuanya itu dirangkum dalam simbolik dan divisualisasikan pada wujud bagian-bagian rumah, yang bertujuan untuk menentukan posisi rumah di lingkungan alamnya. Dengan demikian rumah merupakan suatu miniatur kosmos atau dapat disebut gambaran mengenai mikrokosmos (‘jagad kecil’).
Konsep mikrokosmos dan makrokosmos ini juga ditemui dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan Belu pada umumnya, dan masyarakat yang mendiami kampung Suku Matabesi di Desa Sesekoe Kecamatan Kota Atambua Kabupaten Belu. Rumah-rumah adat atau setiap perkampungan di Belu mempunyai tatahan yang integral dengan bangunan-bangunan megalitik berupa Aitos yang terdapat di setiap Sadan rumah setempat. Kenyataan ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Beding dan Lestari (2003: 54) bahwa alam nyata tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan alam baka; betapa tergantung terkait-mentatu dengan mikrokosmos (‘jagad kecil’) dan makrokosmos atau alam semesta.
Penataan atau tata letak rumah-rumah dalam pola pemukiman tradisional di Belu (termasuk juga di kampung Suku besar Matabesi) yang ditata secara cluster di depan kampung terdapat Sadan Sri foon Lakaan (peralatan terbuka) yang multi fungsi ini memiliki nilai simbolik tersendiri, yakni pada kebersamaan dan gotong royong masyarakat setempat.
Gugusan rumah-rumah tinggal biasa yang terdapat dalam pemukiman tradisional Suku Matabesi ini nampaknya tidak ada ketentuan khusus mengenai perletakannya dalam tata tapaknya, kecuali 12 rumah suku dan uma kakaluk yang selalu diletakan menghadap arah timur, dimana posisi Lakaan berada serta aitos yang terletak di tengah Sadan (peralatan terbuka). Dengan demikian, rumah-rumah tinggal biasanya diletakan berjejer disebelah kiri dan kanan kedua belas rumah adat berdasarkan pembagian suku dalam suku besar Matabesi.

Konsepsi mengenai hubungan antara alam nyata dengan ‘alam baka’ ini menjadi faktor utama yang melatarbelakangi mengapa kuburan orang yang telah meninggal khususnya kuburan Meo (pahlawan diletakan di dalam kampong, di dekat rumah Meo itu sendiri. Perletakan kuburan yang demikian bertujuan agar mereka selalu dekat dengan para leluhurnya yang senantiasa melindungi mereka dari berbegai macam marah bahaya.
Pada umumnya arsitektur rumah adat dan rumah tinggal dalam kehidupan masyarakat budaya Belu memiliki arti dan makna tertentu, baik secara praktis maupun religius. Para ahli antropologi, sosiologi dan arkeologi mengatakan bahwa arsitektur dan penataan rumah-rumah adat dan rumah tinggal dalam kebudayaan masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur berkaitan erat dengan makna-makna simbolis dan religius. Pembuatan dan pendirian perkampungan maupun rumah adat dan rumah tinggal tersebut selalu dikaitkan dengan harapan dan permohonan yang disampaikan kepada sang pencipta untuk ketentraman, keamanan dan kesejahteraan melalui perantaraan para leluhur mereka.
Sebagaimana telah diungkapkan diatas bahwa pada dasarnya rumah-rumah adat dan rumah tinggal ataupun perkembangan tradisional di Belu (termasuk juga di kampung Adat Suku Matabesi) dibangun dengan pertimbangan praktis dan religius. Pertimbangan praktis antara lain sebuah pemukiman tradisional (kampung tradisional) sedapat mungkin di bangun relatif dekat sumber air (mata air), karena air memiliki peran penting bagi kelangsungan hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya. Bahkan bagi masyarakat Belu mata air merupakan salah satu unsur yang mendukung keberadaan suatu kampung adat. Karena mata air dalam hal ini merupakan salah satu tempat untuk pelaksanaan upacara adat tertentu. Rumah di bangun berpanggung untuk menghindari binatang yang mencelakakan penghuni rumah, disamping untuk mengantisipasi kelembaban tanah yang membahayakan kesehatan manusia. Selain itu, rumah panggung merupakan suatu penyelesaian masalah yang sangat arif dan bijaksana, mengingat terbatasnya teknologi yang dimiliki serta sebagai manifestasi dari upaya untuk tidak merusak alam. Perpanggungan bangunan dimaksudkan sebagai tempat tambahan akan kesadaran mereka terhadap ruang manusia yang dapat dipergunakan sebagai wadah untuk melakukan aktivitas keseharian.
Makna religius dibuktikan dengan adanya Kakaluk Manek dan kakaluk feto (tiang suci) yang terletak dibagian tengah rumah sebagai pusat orientasi dalam rumah adat (uma kakaluk), terutama pada saat pelaksanaan upacara-upacara adat. Makna religius juga ditandai oleh benda-benda pusaka milik suku merupakan manifestasi dari makna religius tersebut. Dengan demikian, maka rumah tradisional Belu (termasuk di kampung Adat Suku Matabesi) secara vertikal yang berkaitan dengan makna religius tersebut setidaknya terdiri dari tiga bagian memiliki nilai perlambangan (simbolik) tertentu. Paling bawah, kolong rumah melambangkan ‘dunia bawah’ atau ‘alam bawah’; bagian tengah rumah sebagai tempat tinggal manusia melambangkan ‘dunia tengah’ atau alam tengah; dan bagian atas rumah (‘Kahak Leten) sebagai tempat para arwah leluhur melambangkan ‘dunia atas’ atau ‘alam atas’. Jadi disini, rumah tidak hanya sekedar sebagai tempat kediaman manusia semata, tetapi merupakan pula tempat kebaktian, tempat pertemuan manusia dengan para dewa dan arwah serta tempat pertemuan manusia dengan Sang Penciptanya (Maromak).
Dalam arsitektur tradisional Belu, khususnya rumah adat terdapat nilai simbolisme yang cukup penting, yakni tiang-tiang penopang rumah adat tersebut. Rumah adat Belu (termasuk 12 Rumah Suku di kampung Adat Suku Matabesi) bisanya ditopang oleh tiang-tiang utama atau tiang agung (Kakaluk Manek dan kakaluk Feto) dan tiang-tiang penunjang yang umumnya terbuat dari jenis pohon yang sama. Dari segi konsep kepercayaan khususnya tiang utama atau tiang agung (Kakaluk Manek dan kakaluk Feto) tersebut memiliki nilai perlambang yang erat kaitannya dengan simbol kekuatan, keangungan dan kekuasaan. Sedangkan ditinjau dari pengetahuan mekanika teknik serta logika sederhana menunjukan bahwa tiang-tiang rumah adat yang terbuat dari pohon yang sejenis akan memiliki kekuatan yang sama pula dalam menopang beban-beban bangunan diatasnya. Hal ini sekaligus menunjukan adanya kesadaran terhadap peran atau tugas utama dari tiang utama (Kakaluk Manek dan kakaluk Feto) tersebut yang menjamin kekokohan bangunanya. Dengan kata lain, tiang-tiang utama disini memegang peranan penting, karena apabila tiang – tiang utama ini runtuh atau patah berarti rumah tersebut akan hancur binasa. Sedangkan tiang – tiang utama dalam wujudnya yang berukir dan berdimensi besar menggambarkan keagungan dan wibawa dari leluhurnya. Sementara penampang tiang yang berbentuk bulat serta pengolahan tiang yang berbentuk sederhana selaras dengan bentuk asli pohonnya mencerminkan suatu upaya yang dimaksudkan untuk mempermudah pembuatan tiang tersebut, mengingat kemampuan teknologi yang dimiliki masih sederhana pula.
Di puncak atap (bubungan rumah adat) yang tampak diluar terdapat tiga ikatan alang – alang (haimalin) yang berbentuk menyerupai tanduk. Bentuk tersebut melambangkan nenek moyang atau lelehur orang Belu (SINA MUTIN MALAKA) yang selalu memelihara dan melindungi seluruh penghuni rumah dan seluruh warga kampung.
Tanduk kerbau yang terdapat dalam rumah merupakan lambang kekuatan suku, yang sekaligus merupakan cerminan manusia yang suka bekerja keras. Jika dilihat dari dalam (interior), khususnya pada tiang utama (Kakaluk Manek dan kakaluk Feto), terdapat nilai-nilai yang mengadung makna permusyawaratan atau perwakilan nenek moyang (leluhur) yang bersifat suci, simbol pemimpin, berada di tengah-tengah, tempat segala sesuatu urusan disampaikan, penopang, pembela dan penegak keadilan serta kesejahteraan.


Read More......

ARSITEKTUR VERNAKULAR ENDE LIO

KONSEP TAPAK
Pola perkampungan pada kompleks Sa’o Ria adalah Linear.
Hal ini dapat dilihat dari perletakan massa bangunan yangmengikuti alur jalan. dengan kontur tanah yang cukup terjal, maka penempatan daerah yang disakralkan seperti Kanga yang merupakan tempat pemujaan mendapatkan tempat yang paling tinggi.
Dalam tapak ada beberapa komponen antara lain:
1. Sao Ria
Sa’o merupakan rumah, sedangkan Ria artinya besar. Jadi pengertian Sa’o Ria adalah Rumah Besar. Sa’o Ria merupakan bangunan utama masyarakat Ende Lio dan amat disakralkan. Pada Sa’o Ria inilah Atalaki Pu’u menetap.

• Fungsi praktis
Sao Ria merupakan tempat berlindung satu atau beberapa keluarga yang seketurunan. Di tempat itulah mereka makan, tidur, dan melakukan pekerjaan – pekerjaan tertentu. Sao Ria juga berfungsi sebagai dapur untuk memasak makanan.

• Fungsi Sosial
Sao Ria adalah tempat tinggal Atalaki Puu beerta saudara – saudaranya.Ia adalah bapak dan ibu dari segenap suku,representan hidup dari nenek – moyang. Ia yang menjamin kesatuan dari seluruh warganya,sebab Sao Ria dibangun oleh segenap warga suku.

• Fungsi Religius
Sao Ria merupakan tempat dilakukannya upacara adat yang bersifat religius seperti upacara pertanian, kelahiran, perkawinan, dan kematian.Adanya Wisu lulu, Ana wula leja, dan barang – barang pusaka keramat lainnya. Membuktikan bahwa Sao Ria bukan saja sebuah tempat tinggal roh nenek – moyang dan tempat manusia bertemu dengan dua ngga’e yang merupakan sumber dan tujuan akhir serta penyelenggara kehidupan alam semesta..

2. Kedha
Kedha adalah pasangan Sao Ria tak berdinding dan tak didiami. Ia dibiarkan kosong dan hanya dipakai beberapa kali dalam setahun, Yakni bila pemuka – pemuka adat membicarakan persoalan – persoalan penting. Sao Kedha dianggap sebagai symbol kejantanan.

3. Bhaku
Bhaku adalah sebuah rumah kecil yang dibangun disamping Sao Ria dan merupakan tempat pertemuan informal. Pada mulanya tamu diterima dan dijamu di Bhaku terlebih dahulu sebelum diterima di Sao Ria. Di dalam Bhaku tersimpan tulang para leluhur.

4. Kebo Ria
Keboria adalah sebuah rumah kecil yang dibangun tidak jauh dari Sao Ria dan terletak berdampingan dengan Bhaku dan menghadap Sao Moni. Keboria memiliki dua ruang utama yakni bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan padi dan jagung, sedangkan bagian bawah tempat untuk mengadakan musyawarah.

5. Kuwu Lewa
Kuwu Lewa didirikan disamping kiri Sao Ria Kuwu Lewa tidak berdinding dan tidak berpenghuni. Kuwu Lewa didirikan khusus untuk memasak daging dari hewan – hewan besar seperti kuda, kerbau, dan babi pada waktu pesta adat.

6. Saga
Saga berbentuk tiang yang terbuat dari kayu nangka, letaknya dibagian depan sebelah kanan Sao Ria. Tingginya sejajar dengan lantai teras depan atau Maga Lo’o.Saga merupakan tempat untuk meletakan sesajian pada acara seremoni adat dalam rangka permohonan restu para leluhur.


7. Kanga
Kanga adalah pelataran yang berbentuk bulat dan berpagar batu didepan Kheda dan Sao Ria terdapat dua buah kanga yaitu kanga suku Ndito dan kanga suku Moni. Kanga suku Ndito lebih tinggi dari Kanga suku Moni karena Kanga suku Ndito dipimpin oleh ata Lake Puu ( Ineame ) yang berkuasa. Tinggi Kanga suku Ndito kurang lebih 3 m dan tinggi Kanga suku Moni 1,5 m kangga merupakan tempat untuk menari tarian Tandak, yakni tarian keakraban dan kesatuan antara para suku dalam upacara adat. Kanga suku Ndito dan Kanga suku Moni dihubungkan oleh Kedha. Semua upacara adat suku Ndito hanya bisa dilakukan dilakukan di kanga suku Ndito begitu pula sebaliknya.
Di tengah Kanga terdapat dua buah batu. Batu yang berdiri tegak dinamakan Tubu Musu yang melambangkan unsure jantan penghubung langit dan bumi.
Disamping Tubu Musu terdapat Musu Mase yakni batu ceper bulat tempat sesajian untuk nenek moyang.
Kanga merupakan tempat suci, symbol kekuatan disitulah para moyang dikuburkan dan diberi persembahan. Disitu pula mereka menyambut Dua Ngga’e pada upacara-upacara adat.
Diantara Kanga Ndito dan kanga Moni dekat Bahaku ada Rate atau kubur tempat disemayamkan Atalake Puu/Ine Ame selama menanti pemetian tulang yang kemudian akan disimpan di dalam bhaku.
Read More......
 
Powered By Blogger | Portal Design By Trik-tips Blog © 2009 |Redesign by Arch NTT | Resolution: 1024x768px | Best View: Firefox | Top