ARSITEKTUR VERNAKULER SABU

Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa pola perkampungan tradisional masyrakat Sabu, mengambil konsep dasar dari pembiasan cahaya bulan purnama, dimana terkesan adanya cahaya yang mengelilingi bulan pada saat purnama.
Konsep dasar ini, kemudian diimplementasikan kedalam pola tapak perkampungan Sabu, dengan catatan semua masa bangunan yang berada didalam tapak harus beorientasi pada satu titik (ruang terbuka/Telora yang biasnya terdapat bangunan megalith, yang mengelilingi sebatang pohon Kepaka/Nitas, Ko/bidara Cina atau Mandiri/beringin)
Secara arsitektur, pola yang tapak yang diterapkan adalah pola cluster/pola mengelompok, dimana masa bangunan yang ada tetap berpusat pada satu titik yang berada pada ruang terbuka/ Telora dan bangunan megalith. Selanjutnya pada keadaan tertentu dimana adanya beda tinggi kontur yang relatif curam, masyarakat kemudian memanfaatkan keadaan tersebut dengan mengikuti pola linear
Mengenai keamanan dalam tapak pada umumnya masyrakat tradisional sabu membuat pagar pengaman yang terbuat dari susunan batu karang (Lau Wadu). Tradisi dalam membuat pagar pengaman biasanya terdapat dua buah pintu yaitu gerbang masuk (Toka Dimu) terletak disebelah Timur dan gerbang keluar (Toka Wa) terletak disebelah Barat.


Pada daerah perbukitan, masyarakat setempat justru memanfaatkan kemiringan tanah perbukitan untuk mengintai musuh atau bahaya lainnya yang mengancam. Disisi lain kemungkinan karena kesulitan dalam menyelesaikan pagar pengaman dalam bentuk susunan batu, dimana karena kemiringan tanah yang cukup terjal didaerah perbukitan.

1. Orientasi Bangunan Dalam Tapak
Orientasi masa bangunan masyarakat Sabu berkaitan dengan perletakan masa bangunan dalam tapak, masyarakat setempat biasanya meletakan masa bangunan dengan memperhatikan titik pusat orientasinya yaitu pada ruang terbuka dan bangunan megalith yang berada di tengah-tengah perkampungan. Untuk menanggapi arah angin masyarakat setempat menyelesaikan masa bangunannya dengan orientasi membujur dari Timur ke Barat.
Ruang terbuka biasanya digunakan untuk ritual-ritual adat tertentu yang bersifat masal, disisi lain ruang terbuka juga digunakan sebagai tempat untuk mengeringkan bahan pangan palawija dan hasil perkebunan lainnya ) untuk disimpan dalam waktu yang cukup lama

2. Tipologi Rumah Tradisional Sabu
Pembahasan mengenai tipologi runah Sabu, terbagi menjadi tiga bagaian besar antara lain :
1. Rumah Sabu asli/rumah adat (Amu Rukoko)
2. Rumah tradisional Sabu yang mengalami transisi (Amu Eta)
3. Rumah Modern (Amu Jawa)

A. Tipologi Rumah Sabu Asli (Amu Rukoko)
a. Bentuk
Secara antropologis dan cerita masyrakat Sabu, bentuk rumah adat (Amu Rukoko) mengambil konsep dasar dari bentuk perahu. Bahkan sebagian besar elemen konstruksinya mengambil nama pada elemen konstruksi sebuah perahu.
Selanjutya, penyelesaian arsitekturnya, masyarakat setempat kemudian membuatnya dengan menyerupai bentuk perahu yang dibalik, sehingga bentuk perahu itu sendiri nampak pada olahan atap rumah adat Sabu.
b. Ruang
Masyarakat Sabu, cukup tegas dalam konsep penzoningan ruang dimana adanya pembagian ruang perempuan dan ruang laki-laki (Wuy dan Duru). Penyelesaian ruang secara arsitektur juga mengambil zona ruang pada perahu (Wuy dan Duru sebagai buritan dan haluan). Sedangkan untuk ruang bersama disebut Kopo Telora/ elu Ae
Lebih lanjut, masih terdapat satu ruang penting yang merupakan hollyroom bagi rumah masyarakat Sabu. Ruang dimaksud biasanya digunakan sebagai tempat pemujaan menurut ajaran tradisional Sabu (ingitiu , ruang tersebut disebut Demu. Selain sebagai ruang pemujaan, Demu juga digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan pangan.
Berdasarkan tradisi masyarakat setempat, yang boleh masuk pada ruang Demu, adalah kaum wanita atau mereka yang sudah berkeluarga. Sedangkan untuk pria lajang tidak diperkenankan masuk pada ruang ini. Pada ruang perempuan/uy selain digunakan sebagai tempat tidur kaum wanita, juga berfungsi sebagai dapur. Untuk penyimpanan barang/ perkakas kaum wanita terdapat satu tempat yang disebut Baja Wuy . Ruang pria atau Duru biasanya digunakan sebagai tempat tidur kaum pria, untuk tempat penyimpanan peralatan kaum pria tersedia satu tempat yang disebut Baja Duru
Pada ruang bersama (opo Telora/Delu Ae biasanya digunakan untuk kegiatan bersama, dengan tetap memperhatikan penzoningan kaum pria dan wanita.

c. Tampilan
Tampilan rumah adat Sabu secara jelas menegaskan kembali konsep dasarnya dimana mengambil konsep bentuk perahu. Secara harafiah sebuah perahu benar-benar seimbang. Konsep keseimbangan ini, dijelasjan kembali pada olahan tampak rumah adat Sabu. Disini konsep pembagian ruang perempuan dan laki-laki juga terlihat dengan jelas pada tampak depan dengan hadirnya dua buah pintu ( Kelae Beni dan Kelae Mone ). Sedangkan ketegasan konsep bentik perahu itu terpampang dengan jelas pada konstruksi penutup/ atap, yang pada bagian puncak atap ( kiri dan kanan ) terdapat bentuk Rukoko yang merupakan symbol kebesaran ajaran Jingitiu. Disisi lain Rukoko juga digunakan sebagai tempat persembunyian/ pengintaian musuh.
d. Ragam Hias
Ragam hias pada arsitektur vernakuler Sabu sangat minim. Untuk mewujudkan konsep dasar dari bentuk perahu, maka pada salah satu elemen konstruksi terlihat adanya penyeleseaian konstruksi yang membentuk seperti dayung perahu ( Aju Nou Rukoko ). Ragam hias lainnya terdapat pada kedua ujung balok pemikul lantai ( Ae kelaga ) pada sisi kiri dan kanan, yang memaknai seperti potongan wajah manusia yang sedang tidur terlentang dan sedang memikul beban. Ragam hias lainnya juga terdapat pada didinding ruang pemujaan ( Ketangarohe ), tiang nok ( Gala Beni dan Gala Mone ) dan pengapit Ketangarohe ( Hengepi / Papa Ketangarohe )
e. Material Struktur dan konstruksi
1. Material
Daratan Pulau Sabu merupakan daerah yang mempunyai populasi lontar yang cukup tinggi. Untuk mewujudkan konsep arsitekturnya, masyarakat setempat kemudian memanfaatkan populasi lontar yang ada. Kurang lebih 90% bahan yang digunakan adalah bahan lontar, sedangkan 10% sisanya menggunakan bahan kayu.
Dalam bahasa local, lontar disebut Keli. Daun lontar sebelum dirangkai menjadi konstruksi atap disebut Ru Keli setelah dijadikan Konstruksi penutup/ atap disebut dengan Ruwuwu, jahitan daun lontar untuk penutup jurai luar (jurai bubungan) juga disebut Ruwuwu. Sedangkan jahitan daun lontar untuk diding disebut Ruhedidi, jahitan daun lontar untuk
Elemen konstruksi pada rumah adat Sabu yang mengguanakan bahan lontar antara lain
1. Kolom (Geri)
2. Lantai (Kelaga)
3. Dinding (Ruhedidi)
4. Pintu (Ru Kelae)
5. Atap (Ruwuwu)
6. Konstruksi rangka atap (Bengu, Aju Nou, Gala)
7. Tali pengikat (Terbuat dari sayatan kulit pelepah lontar)

Bahan lain selain lontar adalah
1. Kolom (Geri Teruwuy dan Geri Teruduru serta Geri Kolo Eka)
2. Reng (Badu) biasanya mengguanakan material kayu yang mudah lentur
3. Dinding pada ruang Demu yang terbuat dari rangkaian/ anyaman daun kelapa (Ketangarohe)

2. Pola Struktur dan Konstruksi
A. Kolom (Geri)
Pada umumnya system struktur kolom pada rumaha adat Sabu menerapkan system sendi atau semua kolom yang ada ditanam dengan kedalaman kurang lebih 100 – 150 cm. kolom-kolom yang ditanam antara lain
a. Tiang utama (Geri Teruwuy dan Geri Teruduru)
Selain sebagai tiang suci, tiang ini juga berfugsi sbagai pemikul struktur Taga Batu (balok lengkung yang digunakan sebagai pemikul struktur atap yag teraksen melengkung pada sisi kiri dan kanan Amu Rukoko) selain itu, Geri Teruwuy dan Geri Teruduru juga digunakan sebagai pemikul atap Rukoko
b. Tiang pemikul struktur rangka atap (Geri Ae
Sistem hubungan struktur dan konstruksi antara keduanya mengguanakan sisitem tumpuan yang diperkuat dengan ikatan (Petu Geri Ae + Aju Nou)
c. tiang teritisan (Geri Kolo Eka)
system hubungan struktur dan konstruksinya adalah dengan pen dan lubang (Pen pada Tiang teritisan lubang pada balok teritisan) yag diperkuat dengan ikatan (Petu Geri Ae + Kenata)
d. Tiang pemikul lantai (Geri Kelaga Ae dan Geri Kelaga Rai)
system hubungan struktur dan konstruksinya ,menggunakan hubungan denagan coakan (Papa Geri Ae + Kelaga)
e. Tiang nok (Gala Beni dan Gala Mone) sisitem struktur dan konstruksi terhadap balok bubungan dan kaki kuda-kuda mengguanakan system pen dan lubang yag diperkaku dengan ikatan (Petu Gala + Aju Nou + Bengu)

1. Balok (Kebie / Ae)
a. Balok Pemikul lantai (Tuki Kelaga , Tuki Kelaga Raid an Tuki Kelaga Demu)
sistem hubungan konstruksi yang diterapkan didni adalah sistim tumpuan sendi dimana menggunakan hubungan dengan coakan
b. Balok pemikul struktur rangka atap (Kebie Ae)
sistem hubungan struktur dan konstruksi yang diterapkan adalah menggunakan sistem pen dan lubang.
c. Balok yang melengkung pada sisi kiri dan kanan (Taga Batu)
sistim sambungan ini dengan menggunakan pen dan lubang (Huki)
d. Balok bubungan (Bengu) dan kaki kuda-kuda (Aju Nou)
Hubungan konstruksinya dengan mengguanakan sistim pen dan lubang dan diperkaku dengan ikatan.
e. Balok pemikul atap Rukoko (Aju Nou Rukoko)
Aju Nou Rukoko berdimensi lebih kecil dari balok yang lain sistim hubungannya dengan balok bubungan bisanya diikat (Petu Aju Nou Rukoko + Bengu)
f. Balok Teritisan (Kenata)
Sistim hubungan konstruksinya adalah pen dan lubang yang diperkaku dengan ikatan. Sedangkan balok teritisan yang melengkung pada keempat sudut disebut Kenata Keware, biasanya terbuat dari kayu Nitas atau bidara Cina/Ko. System sambungannya dengan kenata menggunakan pen dan lubang (Huki)
B. Tipologi Rumah Sabu yang telah Mengalami Transisi (Amu Eta)
a. Bentuk
Pada dasarnya Amu Eta masih mengambil kaidah kaidah lama pada Amu Rukoko. Disini, bentuk Amu Rukoko. Tetapi hanya mengambil nilai-nilai yang terkandung pada Amu Rukoko. Olahan bentuk Amu Eta sudah terjadi perubahan, ini dapat dilihat dari bentuk denahnya yang mengandung bentuk dasar persegi, tidak persis lagi seperti pada Amu Rukoko yang berbentuk elips.
Hal lain juga terjadi perubahan bentu pada bentuk atap dimana Emu Eta bentuk atapnya sudah berbentuk perisai dengan keempat sudutnya beraksen melengkung.
b. Ruang
Menurut tradisi massyarakat setempat Amu Eta juga disebut Amu Kapue atau Rumah tinggal, dimana Amu Eta atau Amu Kapue terdapat sebuah ruang terbuka pada bagian depannya yang disbut Amu Kehale/ baranda biasanya Amu Kahale tidak berhubungan langsung dengan Amu Kapue. Mengenai penzoningan ruang pada Amu Eta, masih mengambil kaidah-kaidah lama pada Amu Rukoko, daiaman terdapat pembagian zona perempuan dan laki-laki (hanya berlaku pada tempat pembaringan jenazah). Ruang pembaringan jenazah, juga digunakan sebagai ruang tamu dan ruang keluarga. Tapi pada ummumnya orang yang bertamu tidak langsung ke Amu Kepue, tetapi dipersilahkan untuk beristurahat sementara di Amu kehale

6 komentar:

Sorry B Ju Su Lama Son Mampir mengatakan...

Waduh... lengak sekali Bu... pasti lu selalu keliling nih ko bisa tau semuanya ni.... Hebat... n terima kasih so bagi2 info ttg NTT...

Eh... b ada buat blog satu lagi.. mampir kalo ada waktu Goaplek

donadzku mengatakan...

Great posting...thanks for sharing..

Awaluddin Jamal mengatakan...

ini rumah adat NTT yah ??

baru tahu loh..,

konsep rumah seimbang.., kalau mau bikin rumah kayaknya konsep ini bisa diterapkan.., semuanya serba seimbang.., biar orang2 didalamnya juga seimbang..,

RifkyMedia™ mengatakan...

hihihih kayak kembali kuliah hehehe,

Anonim mengatakan...

halo sidara.. knp shoutmix nd aktif le??.. su lama nd berkunjung nie.. http://exosystem.blogspot.com/ :D

clover mengatakan...

terima kasih banyak bwd infonya....
mantab banget de !!
kalau butuh info2 juga bisa liat juga di blog, www.arsiteknusantara.blogspot.com

Posting Komentar

 
Powered By Blogger | Portal Design By Trik-tips Blog © 2009 |Redesign by Arch NTT | Resolution: 1024x768px | Best View: Firefox | Top