PERKAMPUNGAN ORANG DAWAN

Jaman dahulu orang Dawan mendirikan rumah dan perkampungannya di puncak–puncak gunung. Perkampungan ini dikelilingi oleh pagar batu, bambu/pelepah gewang, semak berduri dan sebagainya. Setiap kampung biasanya didiami kelompok kerabat dengan seorang kepala/pimpinan. Sebuah perkampungan baru dapat terbentuk karena adanya pemecahan anggota kelompok atau kawin campur antar suku. Dengan demikian kelompok kerabat menjadi terpencar–pencar dalam wilayah yang luas. Pemecahan tempat kediaman berhubungan erat dengan sistem mata pencaharian yaitu berladang.
Pola perkampungan suku Dawan yang asli adalah kelompok padat dengan rumah–rumah (cluster) dengan beberapa kandang ternak (sapi/babi). Kadang–kadang penduduk tersebar disekeliling perkampungan. Disamping itu ruang luar yang terbuka dimanfaatkan sebagai tempat bermain anak–anak atau tempat bekerja (menenun) terutama dibawah naungan pohon–pohon besar atau dengan mendirikan pondok-pondok tempat kerja (Sane).
Pada Desa Maslete contohnya, masih terdapat beberap kelompok rumah dengan pola asli (cluster). Perumahan rakyat biasa terdiri dari kelompok–kelompok yang masing–masing dihuni oleh anggota sebuah marga. Setiap kelompok marga ini mempunyai sebuah rumah yang dikeramatkan yang disebut dengan rumah marga. Kompleks perumahan raja/Usif terletak pada daerah ketinggian/bukit, sedangkan perumahan rakyat biasa terletak pada daerah yang lebih rendah. Pemanfaatan ruang luar/terbuka pada kompleks Sonaf lebih diutamakan pada kegiatan spiritual (upacara-upacara adat). Hal ini di tandai dengan didirikannya tiang–tiang tempat persembahan.


Jenis bangunan dalam masyarakat Dawan dapat dibagi menjadi :
a. Rumah Rakyat Kecil / Ume To Ana’.
b. Rumah Marga.
c. Rumah Raja / Sonaf ( Istana ), dan
d. Pondok Kerja.
Pada rumah rakyat biasa maupun rumah Raja di bagian depannya biasa di bangun/dilengkapi dengan Lopo (tempat pertemuan).

1. Rumah Rakyat Biasa (u me To Ana’).
a) Tipologi Bangunan.
Denah rumah rakyat biasa berbentuk bundar. Luasnya tergantung pada kebutuhan serta status sosial pemiliknya. Rumah dengan denah berbentuk bundar ini disebut Ume Kbubu (Rumah Bulat). Kadang disebut juga Ume Bife (Rumah Perempuan) karena sebagian besar kegiatan dari wanita terfokus pada rumah ini, misalnya : melahirkan, memasak, menenun, dan sebagainya. Sedangkan kegiatan pria lebih banyak di ladang.
b) Pondasi (Baki).
Pondasi dibentuk dari batu kali ceper yang disusun membentuk lingkaran sesuai dengan luasnya. Tinggi pondasi dari permukaan tanah antara 20 cm–40 cm. Fungsinya untuk mencegah masuknya air pada saat musim penghujan.
c) Lantai (Nijan).
Lntai bangunan terbuat dari tanah yang diurung diatas/ i dalam fondasi yang sudah berbentuk (bundar). Permukaan lantai kemudian diratakan.
d) Tiang (Ni).
Tian To Ana’ disini dibagi menjadi :
1. Ni Ana’ : Tiang yang mengelilingi bangunan. Tiang ini ditanam sesuai dengan bentuk denah (secara melingkar). Jumlah tiang tergantung dari luasnya. Jarak antara tiangnya juga bervariasi, namun rata–rata antara 1,5–2,5 m. Bentuk tiang diambil dari alam dan langsung digunakan tanpa dibentuk lagi, hanya dirapikan. Tiang ini dipilih yang agak lurus dan bercabang pada bagian atas yang mana nanti berfungsi untuk menopang Neu’ Nono. Jenis kayu yang digunakan antara lain : kayu merah atau kayu putih. Tinggi tiang Ni Ana’, makin dekat dengan pintu makin tinggi hingga kira – kira 1,25 m, sedangkan yang terpendek yang terjauh dari pintu 60 – 80 cm. Diameter tiang antara 10–15 cm.
2. Ni Tetu (tiang loteng/pelindung). Tiang ini dipakai sebagai tumpuan utama dari bangunan secara keseluruhan dan juga sebagai tumpuan untuk meletakan balok–balok loteng. Tiang ini juga meneruskan semua gaya–gaya vertikal ke tanah. Jumlah tiang ini adalah empat buah (4) dan di tanam dalam tanah sedalam 50 cm. Demikain pula halnya dengan Ni Tetu ini kayu yang digunakan harus dipilih yang bercabang pada puncaknya. Fungsinya sebagai tumpuan balok–balok loteng. Pada saat sekarang ini dengan peralatan yang cukup baik tiang yang bercabang ini diganti dengan bagian puncak yang ditakik menyerupai cabang asli. Karena berfungsi sebagai penerima seluruh gaya vertikal ke tanah maka konsekuensinya dimensi tiang harus cukup besar. Bentuk tiang ini bulat dan berdiameter antara 20–25 cm dan dipilih dari teras kayu merah/kayu putih, asam dan lain sebagainya. Tinggi tiang rata – rata berkisar antara 2,50–3,00 m.
3. Ni Enaf (Tiang Penopang Bangunan). Tiang ini diletakan dibaian tengah–atas balok loteng. Umlahnya satu (1) buah. Pada bagian bawah diberi takikan untuk memasukannya dalam Tunis, yang kemudian diperkuat dengan ikatan. Sedangkan bagian atas bercabang dan berfungsi untuk menopang balok bubungan. Bentuk Ni Enaf bulat, tingginya 2,00–2,50 m.
e) Dinding (Niki).
Dinding dipasang melingkari tiang (Ni Ana’). Beberapa kayu/bilah bambu melintang terdiri dari dua jalur diikatkan pada kayu/bambu melintang sekaligus merupakan perkuatan pada dinding. Tinggi dinding ± 0,50–0,80 m. Semakin dekat ke pintu semakin tinggi, dindingnya sampai 100 cm. Bahan dinding dipilih dari beberapa jenis bahan antara lain : papan, bambu cincang, batangt pinang cincang, pelepah gewang, kulit kayu dan sebagainya. Bagian bawah/ujung dinding dimuati diatas batu dengan tujuan agar tidak mudah rusak oleh rayap atau air.
f) Atap (Tefi).
Atap berbentuk kerucut sebagai akibat dari bentuk denah dan rangka ata. Puncak atap mempunyai dua bentuk yakni bulat (seperti sanggul wanita) dan pelana/palungan terbalik. Bentuk bundar (denah) atau metaphor sebagai bentuk bulat/kerucut (atap) mempunyai arti bentangan langit yang melingkupi bumi. Konstruksi rangka atap sendiri terdiri dari :
1. Nono Ana’/Neu’ Nono. Berupa kayu–kayu kecil (cemara) yang berdiameter antara 2–4 cm yang diikat menjadi satu kesatuan yang berbentuk lingkaran. Neu Nono ini bisa berfungsi sebagai ring balok, karena dipasang melingkari seluruh bangunan dengan bertumpu pada tiang–tiang keliling (Ni Ana’) kemudian diikat (tali Mausak).
2. Nono Tetu. Bahan dan diameter sama dengan Nono Ana’ tapi ukuran ikatannya sedikit lebih kecil. Fungsi untuk memberikan bentukan melingkar pada atap bagian tengah.
3. Nono Nifu/Nono Sene. Fungsinya sama yakni pemberi bentuk lingkaran pada bagian atas atap. Bahan serta ukurannya sama dengan Nono Tetu. Kadang hanya dipakai Nono Nifu saja/Nono Sene saja.Pada Rumah Raja (sonaf) digunakan kedua–duanya.
4. Suaf. Adalah sebuah balok bulat dan lurus, berdiameter 5 -7 cm (untuk Ume Kbubu) yang diletakan/diikatkan diatas semua Nono (Nono Ana’, Nono Tetu, Nono, Nono Sene/Nono Nifu). Balok ini diambil dari alam, yakni batang pohon cemara/yang lainnya, dan harus lurus dan panjang, utuh, tidak boleh disambung–sambung pada saat dipasangkan. Fungsi Suaf adalah : Sebagai pembentuk rangka atap, dan sebagai tempat untuk mengikatkan Takpani.
5. Takpani. Adalah batang – batang kecil cemara berdiameter 2-3 cm yang diikatkan arah melintang terhadap Suaf. Jarak antar Takpani 30–40 cm. Fungsi Takpani adalah sebagai tempat untuk mengikatkan alang – alang.
6. Penutup Atap. Penutup rangka atap menggunakan alang – alang (Hun).
g) Loteng (Tetu).
Loteng terdiri dari dua balok yang menumpu diatas empat tiang pendukung (Ni Tet ) yang disebut Suif. Diatas Suif diletakan melintang balok Nono, dan diatas Nono ini diletakan secara melintang balok Tunis. Di atas Tunis in digelar bambu cincang/ batang pinang cincang.
h) Pintu (Enok).
Pintu terbentuk dari susunan papan, bilah bambu/gewang secara vertikal. Tingginya 1m–1,25m, lebarnya 0,80–1,00 m. Pintu biasanya dibuka kedalam. Secara garis besar pintu orang Dawan dibagi atas : Daun Pintu (Bena) yang berarti ceper/datar dan balok diatas pintu (kbafnesu Fafof) dan balok dibawah pintu (Kbafnesu Penif). Pada kedua balok ini dibuat berlubang sebagai tempat memasukan Utin (Lidah Pintu). Lubang tersebut dinamakan Bola’/Kona’. Utin dan Bola melambangkan pria dan wanita. Selain lubang tempat memasukan Utin tadi, juga terdapat lubang lain yang disebut Kona Falo yaitu tempat memasukan Falo yang berfungsi sebagai kunci tradisional.
i) Tangga (Elak).
Tangga yang dimaksudkan disini adalah tangga yang digunakan untuk naik ke loteng yang disebut Elak. Elak dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Elak Ma’bola ( tangga berlubang ), terbuat dari sebatang kayu yang dilubangi empat sampai lima lubang.
2. Elak Se’at yakni sebuah bambu yang ditakik 4 – 5 takikakan.
3. Elak Haunua, Terdiri dari dua batang bambu yang dihubungkan dengan beberapa kayu pendek sekaligus sebagai anak tangga.

2. Rumah Raja / Istana ( Sonaf ).
a) Tipologi Bangunan.
Tidak seperti rumah rakyat biasa yang bundar, denah Sonaf agak lonjong/elips. Bentuk tersebut melambangkan alam semesta dan sebagai pemersatu/perangkul suku – suku. Luasnya juga lebih besar dari Ume Kbubu. Ruangan dibagi dua yaitu :
1. Sulak : Ruang yang digunakan untuk pertemuan kepala–kepala suku.
2. Bife : Ruang tempat tinggal, memasak, tidur, menyimpan benda pusaka. Ruang ini hanya boleh dimasuki oleh pemiliknya saja, tidak sembarang orang yang boleh memasukinya kecuali diberi ijin khusus dan sanggup mentaati pantangan-pantangan yang ada.
b) Pondasi (Baki).
Seperti halnya dengan Ume Kbubu, bahan pondasi berasal dari batu kali ceper yang disusun setinggi 20–40 cm dari permukaan dan membentuk lingkaran. Fungsinya sama yaitu mencegah masuknya air hujan ke dalam ruangan.
c) Lantai (Nijan).
Setelah pondasi terbentuk, pada bagian tengah lingkaran yang sudah dibatasi dengan batu kali dimasukan batu kerikil dan diatasnya diurug dengan tanah sampai rata.
d) Tiang (Nono).
Tiang struktur pada Sonaf ini dibagi 3 bagian yakni :
1. Ni Ana’ : Tiang yang dipasang keliling bangunan. Jumlah tiang ini melambangkan suku–suku yang berada di bawah naungan kepemimpinan raja yang mendiami Sonaf ini. Tinggi tiang dan jarak antara tiang sekitar 150 cm. Tiang–tiang ini diberi ukiran. Untuk bahan tiang ini digunakan teras pohon kayu merah / teras kayu putih yang lurus. Pada bagian atas tiang diberi takikan yang menyerupai cabang (Tatone) yang berfungsi sebagai penopang Neu’ Nono. Diameter ruang rata–rata 15 cm.
2. Ni Tetu (Tiang Loteng) : Tiang ini berfungsi menopang balok–balok loteng di atasnya. Jumlah tiang ini 4 buah yang terletak dibagian dalam (Ruang perempuan/ruang tinggal). Tinggi tiang adalah 2,50 cm dan berdiameter 20 cm. Tiang dipilih yang lurus dan bahan dari teras pohon kayu merah. Bagian atas tiang ditakik menyerupai cabang (Tatone), dipakai sebagai tempat menumpu balok Suif. Ke empat tiang ini melambangkan 4 suku besar yakni : Uis Sanak, Uis Lake, Uis Bana, dan Uis Atoh.
3. Ni Ainaf : Tiang Utama. Tiang ini lebih tinggi dari tiang yang lain (4,00 m) dan melambangkan adanya makhluk yang supra natural. Jumlah tiang ini ada dua. Yang satu berada di ruang dalam/ruang perempuan (Bife) dan yang lainnya berada di luar/tempat pertemuan (Sulak). Diameter tiang ini lebih besar dari tiang lain (25 cm) dan pada puncaknya terdapat cabang alamiah. Cabang tersebut berfungsi sebagai penopang balok bubungan (Lael) di atasnya. Bahan yang dipilih sebagi tiang utama ini adalah teras kayu merah / putih yuang diberi bentuk bulat polos tanpa ukiran.
e) Dinding (Niki).
Bahan dinding berasal dari pohon kayu merah yang dibelah menjadi papan. Papan dipasan melintang dengan perkuatan dua kayu melintang, papan–papan disatukan dengan diikatkan pada tiang–tiang (Ni Ana’). Tinggi dan tebal papan yang mengelilingi bangunan adalah 1,50 m dan 2cm. Sedangkan dinding yang membatasi ruang Bife dan Sulak tingginya 2,50 m dan tebalnya 4 cm. Pada bagian bawah dinding diberi alas dari balok kayu yang diberi sponing untuk memasukan papan tersebut kedalam. Tujuannya untuk mencegah merembesnya air ke atas dinding dan menghindari serangan rayap–rayap. Balok–balok ini disebut Penif.
f) Atap ( Tefi ) :
Bentuk atap agak berbeda dengan Ume Kbubu terutama pada bagian bubungan yang lebih panjang dan pada bagian depan teritisnya tidak sampai ke tanah malah agak tinggi. Elemen – elemen konstruksi atap Sonaf :
1. Non Ni Ana’/Neu Nono : Adalah rangkaian batang–batang cemara berdiameter 2 – 4 cm, yang diikatsatukan dan diletekan di atas Ni Ana’ (tiang anak) secara melingkar sesuai dengan bentuk denah yang ada. Fungsinya untuk menyatukan/mengikat tiang–tiang secara keseluruhan dan sebagai tumpuan Suaf.
2. Non Loti : Rangkaian batang–batang cemara. Ukuran ikatan lebih kecil dari Non Ni Ana. Fungsinya sebagai tempat untuk mengikat Loti dan diikat melingkari ujung–ujung balok loteng. Fungsinya selain sebagai pembentuk lingkaran juga untuk mengikat ujung–ujung balok loteng.
3. Non Nifu & Nono : Funsinya sama yakni pemberi bentuk (lingkaran) dan juga sebagai tumpuan Suaf.
4. Non Sene : Berfungsi sebagai pemberi bentuk bagian atas.
5. Loti. Loti ditempatkan di teritisan depan rumah. Fungsinya untuk menopang bagian teritis depan rumah agar lebih tinggi dari bagian teritis yang lain. Jumlah Loti mencerminkan jumlah suku–suku yang tergabung.
6. Suaf. Ukuran Suaf pada Sonaf umumnya lebih besar dari Ume Kbubu. Diameter batang 7–10 cm. Bahan Suaf dari batang–batang cemara yang lurus utuh tanpa adanya sambungan. Suaf diikat diikat diatas semua Nono. Pada bagian bawah diberi takikan (Tkoma) yang fungsinya sebagai tempat untuk mengaitkan tali–tali yang diikatkan pada Non Ni Ana’.
7. Takpani : adalah batang–batang kecil yang diikatkan melingkar diatas Suaf. Diameter Takpani 2–3 cm. Fungsi Takpani sebagai tempat mengikatkan bahan penutup atap (alang–alang / Hun).
g) Loteng.
Sistem konstruksi loteng sama dengan pada Ume Kbubu, tapi tiang penopang balok bubungan tidak menopang pada balok loteng namun berasal dari tiang induk (Ni Ainaf) yang ditanam dalam tanah.
h) Pintu.
Pintu asli untuk Sonaf terbuat dari dua lembar papan yang tingginya 2,00 m. Tebal masing–masing papan sampai dengan pegangannya 15 cm. Tebal papannya sendiri kira–kira setengah dari tebal sampai dengan pegangannya. Lebar masing–masing papan 50 cm. Pegangan pintu (Eka Kolok) masing–masing dua buah yaitu disebalah kiri dan kanan. Pegangan pintu ini dibuat dengan cara memahat sebuah papan yang tebal (15 cm) sampai terbentuknya pegangan tersebut. Jadi pegengan pintu ini menyatu dengan pintu tanpa adanya paku, pasak, lem, tali pengikat dan sebagainya. Pada permukaan pintu ini juga diberi Ukiran serta lubang yang tembus pada sisi-sisinya sebagai tempat untuk memasukan sejenis palang pintu tradisional (Hau Eka). Pintu ini juga terbagi atas 3 bagian besar :
1. Daun pintu ( Bena ).
2. Balok di atas pintu ( Kbafnesu Fafof ).
3. Balok di bawah pintu ( Kbafnesu Penif ).
Pada bagian atas dan bawah balok ini diberi lubang (Bola‘) tempat memasukan lidah pintu (Utin). Utin dan Bola’ berfungsi sebagai engsel pintu dan melambangkan pria dan wanita.

3. Rumah Tempat Pertemuan Umum (Lopo / Ume Buat)
Lopo dalam bahasa Dawan berarti rumah tempat musyawarah/tempat pertemuan umum. Ume Lopo sering disebut pula sebagai rumah Ume Atoni (Rumah laki–laki) karena lebih sering ditempati, dimasuki, dipakai oleh kaum laki–laki. Konstruksi Ume Lopo secara keseluruhan sama dengan Ume Kbubu. Yang membedakannya adalah teritisnya tidak sampai ke tanah. Jaraknya dari permukaan tanah antara 150–200 cm, tidak berdinding dan tidak berpintu. Nama Ume Lopo diberikan sesuai dengan keadaan teritis yang tidak sampai ke tanah. Sedangkan Ume Buat berarti rumah tempat berkumpul.
a. Tipologi.
Denah Ume Lopo sama dengan rumah tinggal (Ume Kbubu). Bentuknya bundar dengan garis tengah 6,00–8,00 m. Letaknya berada di depan. Ume Bife (rumah perempuan) atau Ume Kbubu memberikan makna simbolik sebagai pelindung.
b. Bentuk bagian – bagian.
1. Tiang ( Ni ).
Bentuk tiang lopo adalah bulat denagan diameter 20–30 cm. Jumlah tiang adalah 4 buah (Ni Tetu), sebagai pendukung balok–balok loteng yakni sebuah tiang pendukung balok–balok loteng. Di tengah–tengah persilangan diagonal loteng terdapat sebatang kolom disebut Ni Enaf yang bertumpu pada balok–balok loteng (Tunis). Jenis pohon yang dipakai sebagai tiang adalah teras kayu Kmel (jenis kayu merah), teras kayu putih (Hu’e), Matani (sejenis kayu marambi), Ayotias (teras Kasuari), Kiu Tias (teras asam). Ke-empat tiang Ni Tetu setinggi 3,00 m ditanam sedalam 0,50 m. Ujung tiang (Ni) bagian atas yang berdiameter paling kecil disebut Utin. Bagian ini berfungsi sebabagai sambungan yang akan dimasukan kedalam lubang pahatan yang terdapat pada balok melintang (Suif). Dibawah Utin terdapat sebuah alur untuk penempatan Benatu’as (lempengan kayu/batu bundar) sebagai pencegah tikus agar tidak naik ke loteng. Bagian bawah Benatu’as terdapat Tkoma Maeka yakni bagian yang diukir untuk memperindah tiang.
2. Atap.
Bentuk maupun konstruksi atap Ume Lopo pada dasarnya sama seperti pada Ume Kbubu. Perbedaannya hanya pada teritis atap lopo yang tidak sampai menyentuh tanah, tetapi berjarak dari permukaan tanah 150 – 200 cm.
Bentuk puncak atap Lopo ada 2 macam yaitu ;
a. Berbentuk pelana /palungan terbalik, dan
b. Berbentuk kerucut.

6 komentar:

all about computer mengatakan...

rumah adat yah...

interest programming? opera free of charge? visit me...read and leave comment

Rizkyzone mengatakan...

itu rumah adat, atabmnya sampai segitu dalemnya ky gimana sob.. keren dah baru liat rumah macem itu, unik...

fendi mengatakan...

wah sajian blognya tepat sama tema.....rumah adat dawan tu mana?

Eman mengatakan...

fendy : rumah adatnya tuh yang diatas sob.. ^_^
aku nga berani photo dari dalam coz banyak "pemalinya"...

Get Exposed mengatakan...

Nice info sob. Thanks for your love to our Indonesian cultures :)

reeneesme mengatakan...

wah makasih infonya....berharga banget sebelum berangkat survey ke sana. Semoga bangunan2 spt ini yg dpt perhatian lebih, bukan hanya bangunan bersejarah peninggalan penjajah

Posting Komentar

 
Powered By Blogger | Portal Design By Trik-tips Blog © 2009 |Redesign by Arch NTT | Resolution: 1024x768px | Best View: Firefox | Top